Islam Sensual - suara-onlin
Home » , » Islam Sensual

Islam Sensual

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: November 21, 2016


Oleh: Ustadz Fauz Noor, beliau intelektual muda NU dan pengasuh PP Fauzan Tasik Malaya

Alkisah, Nashruddin Hoja mengikat keledainya di depan sebuah masjid. Selepas solat jamaah, ia keluar dan mendapatkan keledainya hilang. Dicuri orang. Sementara orang-orang sibuk membatu, mencari keledai, Nashruddin malah termenung.

Tiba-tiba ia masuk masjid kembali, lalu melakukan sujud syukur. Orang-orang bertanya, “Kehilangan kendaraan kok sujud syukur?” Nashruddin menjawab, “Saya sujud syukur. Sungguh saya berterimakasih kepada Allah bahwa hanya keledai saya hilang, sedangkan diri saya ini tak ikut dicuri orang.”

Kisah kecil di atas adalah satu kritik tajam. Nashruddin ingin menegaskan bahwa kita jangan salah dalam memaknai “kehilangan”. Jika kita salah menghayatinya, maka rusaklah ideologi kesejatian, lenyaplah kemanusiaan. Ketika orang-orang memandang aneh Nashruddin yang sujud syukur, karena kepribadian mereka telah digilas kekuatan nafsu kepemilikan, dicuri keserakahan kafitalisme, dicukur dehumanisme industri.

Kita sering sibuk “membantu” Nashruddin mencari keledai yang hilang, tak jarang bahkan sampai mencaci dan mengutuk pencurinya. Inilah tabiat kita semua, terjebak pada sikap konpensional. Namun, di sekitar kita juga banyak Nashruddin-Nasruddin, yang bertindak “tidak lazim”. Ketika “kehilangan keledai”, Nashruddin-Nashruddin ini seakan tidak menunjukan sikap militansinya untuk mengutuk si pencuri. Mereka malah seperti melakukan sujud syukur dengan menolak mensolatkan jenazah teroris.

Ketika mereka diminta untuk memberikan dukungan supaya Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dibebaskan, mereka malah terkesan ogah untuk bersuara, seperti bersyukur kalau tokoh yang sudah terang-terangan mendukung ISIS itu dipenjara saja. Ketika orang-orang sibuk mencari “keledai” di pikuk PILKADA dengan mendatangi para calon, mereka memilih sepi dalam taqarub kepada Ilahi.

Memang untuk memahami sikap Nasruddin, dibutuhkan kecerdasan tingkat tinggi, perlu perenungan, kepekaan dan kejernihan hati yang bening. Inilah, barangkali, syarat untuk bisa memahami bahwa yang terlihat baik bisa jadi berbahaya dan yang disangka buruk malah sebenarnya baik.

Kenapa kita susah memahami Nashruddin? Karena keberagamaan itu masih sensual, belum subtansial. Islam kita masih Islam sensual. Ukuran kesalehan kita masih dalam takaran yang nampak - solat, puasa, serban, jilbab, jidat bertanda hitam, gelar haji, rajin ke mesjid, dan sebagainya. Islam kita masih Islam label. Bank, hotel sampai negara harus bercap syari’ah. Sementara itu, aktifitas berpikir anak-anak muda, teriakan membela hak asasi manusia, ajakan toleransi, memperjuangkan nasib buruh, tak alang dicurigai, dipandang liberal, bahkan tak jarang diteriaki sesat.

Nashruddin sujud syukur, hemat saya, nampaknya ia mencsyukuri juga keberadaannya yang sudah mencapai maqon subtansial. Ya, mentalitas kepekaan yang dimiliki Nashruddin tak banyak dimiliki orang lain. Itu intan. Itu mutiara. Dan pantas untuk disyukuri. Tokoh Nashruddin Hoja memang tokoh yang sering kali membuat kita malu. Satu kisah lain. Ini tentang Nashruddin di zaman modern sekarang.

Suatu ketika Nashruddin terlihat sibuk, mondar-mandir di sebuah perahu dengan wajah yang panik. Ia seperti melakukan sesuatu. Sampai akhirnya ia terdiam duduk di bangku dengan tenang. Tiba-tiba, “Pak, apa Bapak bisa internet?” tanya seorang Ibu. “Tidak,” biasa jawab Nashruddin enteng. “Wah,” kata si Ibu dengan sedikit sombong, “Bapak akan mengahabiskan separo hidup bapak dengan percum.” Nashruddin yang memang sedang panik kemudian bertanya, “Ibu bisa berenang?” Si Ibu menjawab, “Tidak.”

Kembali dengan wajah panik, Nashruddin berkata, “Ibu akan kehilangan bukan separo hidup ibu, tapi semua hidup ibu.” Si Ibu kaget, “Kenapa?” Masih dengan wajah panik tapi tenang, Nashruddin berkata, “Peruhu ini bocor.”

Seperti perahu Nashruddin, perahu kita berupa sistem budaya masyarakat yang sedang bocor dan diancam tenggelam. Tetapi berbeda dengan perahu si Jenaka itu, perahu kita bukan di tengah sungai tetapi di tengah samudra peradaban dunia yang tengah menanti badai raksasa. Awan tebal sedang menggantung di masyarakat-masyarakat “maju” dan mulai menutupi seluruh penjuru dunia termasuk masyarakat muslim. Yang dibutuhkan adalah sesuatu yang tak lekang oleh zaman, yang abadi, yaitu subtansi dari ajaran.

Jika kita terus terjebak dalam sikap-sikap yang sensual, Islam penampakan, Islam pencitraan (bahkan dengan teknologi) yang canggih-canggih, sementara kita lupa akan kebutuhan hakiki, kebutuhan yang subtansi, maka bukan separo hidup kita yang hilang, melainkan seluruh kebanggaan dan ajaran kita pun akan tenggelam.

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design