Cerita Kepahlawanan Di Balik Nama Jalan - suara-onlin
Home » » Cerita Kepahlawanan Di Balik Nama Jalan

Cerita Kepahlawanan Di Balik Nama Jalan

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: February 05, 2017

Hampir sebagian besar masyarakat Cianjur, kini tak mengenal lagi sosok nama-nama pahlawan mereka yang di sematkan pada sejumlah jalan. Ironisnya, pihak yang berwenang ikut-ikutan latah dalam ketidaktahuan sejarah. Bentuk ketidak-pedulian generasi saat ini terhadap perjuangan para sepuh mereka.

Gelap masih membekap kawasan kota Cianjur matahari pagi belum berani menampakan diri, saat anak muda berpakaian olahraga tengah bercengkrama di satu sudut kota itu. Suara mereka terdengar sedikit ribut, mirip rombongan burung sawah yang sedang mencari makan

Saya mendekati anak-anak muda itu. Dari wajahnya, saya taksir usia mereka masih 17-an. "Olahraga, kang?" Kata salah satu dari mereka yang saya kenal sebagai tentangga saya. Kami lantas terlibat dalam obrolan ngalor-ngidul mulai bicara tentang sekolah, pergaulan anak muda sekarang hingga sejarah Cianjur.

"Eh kalian tahu siapa dia?" Tanya saya seraya menunjuk plank jalan yang bertuliskan nama seseorang.

"Adi Sucipta? Ya tahulah kang, dia kan pahlawan Angkatan Udara kita..." kata salah seorang dari mereka dengan wajah sumringah. Yang lainnya hanya tersenyu-senyum saja.

Saya sebenarmya maklum kalau mereka menjawab itu. Alih-alih anak-anak muda tersebut, orang-orang Pemerintah Kabupaten Cianjur saja tak tahu menahu soal itu hingga kini. Buktinya, mereka dengan serampangan menuliskan nama itu tanpa melakukan riset terlebih untuk mencari tahu siapa orang yang akan dijadikan nama jalan tersebut.

BUKAN ADI SUCIPTA


Sejatinya nama yang terpampang di plang jalan itu sejak tahun 1960-an adalah A. Sucipta atau lengkapnya Asmin Sucipta, nama seorang pejuang Cianjur yang sangat ditakuti oleh militer Belanda pada era perang kemerdekaan (1945-1949). Lantas kenapa sejak 1980-an jalan tersebut berubah menjadi jalan Adi Sucipta? Kecurigaan saya, pihak yang berwenang menamai jalan tersebut atas dasar spekulasi semata. Mereka mengira A. Sucipta adalah Adi Sucipta, seorang perintis TNI Angakatan Udara yang bisa jadi selama hidupnya tak pernah menginjakan kaki di Cianjur.

Soal ini sesungguhnya pernah diingatkan oleh salah seorang sesepuh Cianjur, Rahmat Purawinata (64) yang pernah memberitahu pemkab Cianjur bahwa nama jalan Adi Sucipta itu harusnya jalan Asmin Sucipta. Memang pada mulanya, pemkab Cianjur sempat mengikuti usulan Rahmat. Namun begitu ia berhenti dari anggota DPRD Kabupaten Cianjur, nama jalan tersebut balik lagi ke nama asalnya yang salah: jalan Adi Sucipta. "Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apa yang menjadi penyebab berubahnya kembali nama jalan tersebut," ujar lelaki yang masih memiliki hubungan darah dengan pejuang Asmin Sucipta tersebut.

Ketidak jelasan juga dialami oleh nama jalan di wilayah Bojongherang, kawasan dekat jantung kota Cianjur. Di sana ada sebuah jalan bernama: Jalan M.H. Kabir. Padahal sejatinya, nama yang benar untuk jalan tersebut adalah Jalan Mayor Harun Kabir, seorang perwira divisi Siliwangi yang gugur ditembak Militer Belanda di daerah Cioray pada November 1947.

Kendati ada di bagian pusta kota, nama Mayor Harun Kabir pun sama sekali tak pernah dikenal oleh orang-orang Cianjur, terlebih oleh generasi mudanya. Ipang (bukan nama sebenarnya), seorang anak muda yang kerap nongkrong di kios depan jalan tersebut malah mengira MH. Kabir adalah nama salah seorang ulama terkenal di Cianjur "Saya kira huruf "M" di depan nama kabir itu adalah "Muhammad", eh ternyata "mayor" ya?" katanya sambil tersenyum.

Salah seorang warga Cianjur, R. Agus Thosin (64) mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap situasi tersebut. Secara jujur ia mengakui bahwa sepeninggal "para sepuh", orang-orang Cianjur memang seolah kehilangan informasi mengenai masa lalunya. "Harusnya pihak Pemda Cianjur tidak gegabah menamai sebuah jalan tanpa mengerti alur sejarahnya," ujar sesepuh Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Cianjur itu.

PUTUSNYA MATA RANTAI SEJARAH

Terkait putusnya mata rantai sejarah sebagian besar orang-orang Cianjur dengan masa lalunya, diakui pula oleh sesepuh Cianjur lain, Mulyadi (75). Menurut putra salah seorang tokoh pergerakan Cianjur di era revolusi R. Dumbon Sumintapura itu, sesungguhnya banyak cerita penting di balik nama jalan yang ada di kawasan Cianjur. "Almarhum bapak saya dulu sering cerita siapa orang-orang tersebut," kata Mulyadi salah satunya adalah Taifur Yusuf. Nama yang di pakai untuk sebuah jalan besar yang membelah tengah kota Cianjur itu sejatinya merupakan nama seorang tokoh pergerakan pemuda yang pada sekitar 1947 gugur dibunuh militer Belanda di kampung Bojongreungit (ada di sebelah timur jalan prof. Mochamad Yamin).

Ceritanya, suatau hari militer Belanda melakukan operasi pembersihan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai kaum Republik. Taifur, yang dikenal licin menghadapi sergapan militer Belanda pada mulanya berhasil menyembunyikan dirinya di sebuah rumah. Namun begitu militer Belanda mundur dan ia keluar dari persembunyiannya, seorang sniper militet Belanda menghabisi hidup Taifur saat ia tengah berjalan di pematang sawah. Rupanya militer Belanda tidak semua meninggalkan tempat itu. "Mereka menyisakan penembak jitunya untuk membunuh pak Taifur yang mereka percaya masih ada di wilayah tersebut," ungkap Mulyadi.

Di wilayah pertigaan Cikidang (masuk dalan wilayah Desa Sayang Heulang) hingga kini dikenal dua gang bernama Gang Edi I dan Gang Edi II. Menurut Mulyadi, sekitar tahun 1947, di kawasan tersebut pernah terjadi suatu penghadangan patroli militer Belanda oleh pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) dibawah pimpinan Letnan Darna. Penghadangan tersebut menimbulkan pertempuran seru yang mengakibatkan korban tewas di kedua pihak.

"Dua anak buah Letnan Darna ikut gugur pula di sana. Dan uniknya kedua prajurit yang gugur itu sama-sama bernama Edi. Maka untuk mengabadikan nama mereka di sematkanlah nama Edi I dan Edi II sebagai nama dua gang yang ada di kawasan tersebut sampai sekarang," kata pensiunan pegawai Dinas kesehatan itu.

Masuk dari arah puncak menuju jalan Taifur Yusuf, di sebelah kanan jalan ada tersebut jalan Imun Soelaiman. Rute tembusan menuju Masjid Agung Cianjur dan pasar Induk Cianjur itu di ambil dari nama seorang anggota Batalyon III Resimen III TRI yang gugur saat pertempuran dengan serdadu Inggris pada 13 Maret 1946. Menurut almarhum Kolonel (purn) Eddie Soekardi II Imun Soelaiman tertembak di ujung bantalan rel kereta api jembatan Cisokan. Leher dan punggungnya dihantam mitralleur serdadu Inggris..." ungkap kolonel Eddie kepada saya pada April lalu.

HARUS DIPERJUANGKAN

Selain nama-nama di atas, banyak jalan di Cianjur diambil dari nama-nama pahlawan asal kota beras itu. Sebut saja diantaranya jalan Amalia-Roebini, yang menjadi perlintasan bus-bus dari arah Bandung menuju terminal Pasirhayam. Sesungguhnya Amalia-Roebini merupakan nama sepasang suami istri asal kampung Pataruman. Mereka berdua dikenal sebagai pejuang bawah tanah yang secara gigih melawan kekuasaan Jepang di Cianjur. Karena perlawanannya tersebut, Amalia-Roebini ditangkap dan diasingkan ke Borneo (sekarang Kalimantan). Di sanalah mereka lantas menemui ajalnya di mulut senapan pasukan Jepang.

Nama yang tak kalah penting dan bersejarah bagi rakyat Cianjur adalah Gatot Mangkoepradja. Menak Cianjur yang dikenal sebagai salah seorang sahabat dekat Bung Karno itu dikenal dalam sejarah Indonesia karena jasa-jasanya dalam pendirian PETA (pembela Tanah Air) di era kekuasaan militer Jepang. Kini namanya disematkan pada nama jalan yang melintasi bekas rumahnya di wilayah bihbul, Desa Nagrak. Sayangnya rumah bekas kediaman Gatot sekarang sudah raib digantikan bangunan lain. "Padahal menurut cerita cerita masyarakat setempat, dulu waktu zaman Jepang, Bung Karno pernah sering terlihat masuk keluar rumah tersebut," ungkap R. Agus Thosin.

Selain nama para pejuang laki-laki, Cianjur juga memiliki beberapa jalan yang namanya diambil dri nama-nama pejuang perempuan kota tersebut. Adalah RD. Adjeng Tjitjih Wiarsih (lebih dikenal oleh orang-orang tua Cianjur sebagai Juag Cicih) dan Siti Jenab, dua pahlawan pendidikan dan emansipasi perwmpuan Cianjur pada era Hindia Belanda. Nama RD. Adjeng Tjitjih Wiarsih kini diabadikan untuk sebuah nama jalan kecil menuju pasar Bojongmeron dari arah jalan Muahamad Ali. Sedangkan Siti Jenab dijadikan nama jalan besar yang melintasi kantor PLN.

Sesungguhnya masih terdapat banyak nama-nama patriot lokal di Cianjur yang kisah perjuangan mereka patut diketahui sebagai teladan bagi generasi saat ini. Contohnya Muhammad Ali (pemimpin Lasykar Banteng di Cianjur) dan Soeroso (pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia di Cianjur).

Namun, adakah generasi muda hari ini mengeri peran mereka dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dahulu? Jawaban anak-anak muda yang saya temui pagi itu di jalan Asmin Sucipta, menjadi bukti bahwa semua itu baru sebatas harapan. Ya, harapan yang harus diperjuangkan terutama oleh pemerintah setempat dan masyarakat Cianjur sendiri.

Sumber: Pak Hendijo


Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design