Oleh: Buya Syafii Maarif
Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang menghebohkan itu, substansi tulisan ini semestinya sudah disampaikan saat Karni Ilyas, Presiden Lawyers Club, mengundang saya pada 11 Oktober 2016 melalui studio Yogyakarta. Karena semula audio-visual TVONE dari Yogya beberapa saat tidak berfungsi, sehingga saya tidak sempat mengikuti fatwa MUI yang juga dibacakan dengan penuh emosi malam itu. Baru belakangan saya dapat membaca isi fatwa itu melalui internet.
Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina al-Qur’an dan menghina ulama dan harus diproses secara hukum. Tetapi malam itu, akal sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukan orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Yang menghujat saya cukup banyak, yang membela pun tidak kurang. Semua berdasarkan fatwa MUI yang tidak teliti itu. Semestinya lembaga sebagai MUI mestilah menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab.
Dari berbagai sumber yang dapat ditelusuri via internet, keterangan lengkap Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 adalah sebagai berikut:
jauh dari itu. Perkara dikesankan menghina ulama, saya tidak perlu bicarakan di sini, karena memang dalam sejarah Muslim sering bermunculan ulama jahat, penjilat penguasa dengan fatwa-fatwa murahannya.
Pokok masalah di sini adalah pernyataan Ahok di depan publik di sana agar “jangan percaya sama orang…karena dibohongin pakai surat surat al-Maidah 51.” Ahok sama sekali tidak mengatakan bahwa surat al-Maidah 51 itu bohong. Yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya. Bung Zuhairi Misrawi dalam pembicaraan telepon dengan saya pada 3 Nopember 2016 mengatakan bahwa di beberapa masjid di Jakarta sudah lama dikobarkan semangat agar rakyat tidak memilih Ahok dalam pilkada 2017 karena dilarang oleh ayat di atas. Bagi saya, apakah Ahok terpilih atau tidak terpilih bukan urusan saya. Itu sepenuhnya urusan para pemilih DKI.
Saya tidak akan memasuki perang penafsiran tentang ayat itu. Pusat perhatian tulisan ini adalah bahwa tidak benar Ahok telah menghina al-Qur’an berdasarkan kutipan lengkap keterangannya di Pulau Pramuka di atas. Fatwa gegabah MUI ini ternyata telah berbutut panjang. Demo 4 Nopember 2016 adalah bentuk kongkretnya. Semoga demo itu akan berlangsung tertib, aman, dan damai.
Tetapi jika terjadi insiden yang tidak diinginkan, MUI harus bertanggung jawab, karena gara-gara fatwanya, demo itu digelar. Kelompok garis keras merasa dapat amunisi untuk tujuan duniawinya. Kekerasan telah jadi mata pencarian. Adapun beberapa politisi yang membonceng fatwa ini, itu bukan untuk mencari kebenaran, tetapi semata-mata untuk mendapatkan keuntungan politik kekuasaan dalam rangka pilkada DKI Feb. 2017. Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil!
Tulisan yang senada dengan ini dapat dicari di internet, seperti ditulis oleh Ahmed Zainul Muttaqien di bawah judul: “Soal Kalimat Ahok,” dan tiga artikel Zuhairi Misrawi dengan beberapa judul yang saling berkaitan.
Yogyakarta, 3 Nop. 2016
Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang menghebohkan itu, substansi tulisan ini semestinya sudah disampaikan saat Karni Ilyas, Presiden Lawyers Club, mengundang saya pada 11 Oktober 2016 melalui studio Yogyakarta. Karena semula audio-visual TVONE dari Yogya beberapa saat tidak berfungsi, sehingga saya tidak sempat mengikuti fatwa MUI yang juga dibacakan dengan penuh emosi malam itu. Baru belakangan saya dapat membaca isi fatwa itu melalui internet.
Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina al-Qur’an dan menghina ulama dan harus diproses secara hukum. Tetapi malam itu, akal sehat saya mengatakan bahwa Ahok bukan orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Yang menghujat saya cukup banyak, yang membela pun tidak kurang. Semua berdasarkan fatwa MUI yang tidak teliti itu. Semestinya lembaga sebagai MUI mestilah menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab.
Dari berbagai sumber yang dapat ditelusuri via internet, keterangan lengkap Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 adalah sebagai berikut:
“Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya…”Perhatikan dengan seksama kutipan ini, apakah memang terdapat penghinaan terhadap al-Qur’an? Hanya otak sakit sajalah yang berkesimpulan demikian. Apalagi jika sampai menista Langit.
jauh dari itu. Perkara dikesankan menghina ulama, saya tidak perlu bicarakan di sini, karena memang dalam sejarah Muslim sering bermunculan ulama jahat, penjilat penguasa dengan fatwa-fatwa murahannya.
Pokok masalah di sini adalah pernyataan Ahok di depan publik di sana agar “jangan percaya sama orang…karena dibohongin pakai surat surat al-Maidah 51.” Ahok sama sekali tidak mengatakan bahwa surat al-Maidah 51 itu bohong. Yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya. Bung Zuhairi Misrawi dalam pembicaraan telepon dengan saya pada 3 Nopember 2016 mengatakan bahwa di beberapa masjid di Jakarta sudah lama dikobarkan semangat agar rakyat tidak memilih Ahok dalam pilkada 2017 karena dilarang oleh ayat di atas. Bagi saya, apakah Ahok terpilih atau tidak terpilih bukan urusan saya. Itu sepenuhnya urusan para pemilih DKI.
Saya tidak akan memasuki perang penafsiran tentang ayat itu. Pusat perhatian tulisan ini adalah bahwa tidak benar Ahok telah menghina al-Qur’an berdasarkan kutipan lengkap keterangannya di Pulau Pramuka di atas. Fatwa gegabah MUI ini ternyata telah berbutut panjang. Demo 4 Nopember 2016 adalah bentuk kongkretnya. Semoga demo itu akan berlangsung tertib, aman, dan damai.
Tetapi jika terjadi insiden yang tidak diinginkan, MUI harus bertanggung jawab, karena gara-gara fatwanya, demo itu digelar. Kelompok garis keras merasa dapat amunisi untuk tujuan duniawinya. Kekerasan telah jadi mata pencarian. Adapun beberapa politisi yang membonceng fatwa ini, itu bukan untuk mencari kebenaran, tetapi semata-mata untuk mendapatkan keuntungan politik kekuasaan dalam rangka pilkada DKI Feb. 2017. Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil!
Tulisan yang senada dengan ini dapat dicari di internet, seperti ditulis oleh Ahmed Zainul Muttaqien di bawah judul: “Soal Kalimat Ahok,” dan tiga artikel Zuhairi Misrawi dengan beberapa judul yang saling berkaitan.
Yogyakarta, 3 Nop. 2016
0 komentar:
Post a Comment