Indonesia Darurat Uji Kompetisi Ulama - suara-onlin
Home » , » Indonesia Darurat Uji Kompetisi Ulama

Indonesia Darurat Uji Kompetisi Ulama

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: December 07, 2016



Soal aksi 411, 212, dan rencana berjilid-jilid aksi selanjutnya tidak saya kritik. Begitu pula aksi-aksi yang dituduh sebagai tandingannya. Karena kritik juga sudah tidak berguna. Orang-orang terlanjur mengklaim pembenaran, tafsir, opini mereka masing-masing. Kritik mestinya dilakukan pada sebab aksi sejak awal, dan itu sudah dilakukan banyak orang. Hasilnya nihil.

Lagipula, aksi semacam itu dilindungi undang-undang. Selama tidak anarkis boleh saja. Sebagian orang mungkin tidak mengerti syarat ini. Sulit sekali memahami, hukum terkait kasus Ahok itu sedang berjalan. Semua orang harus menghormati itu. Intervensi di luar koridor hukum adalah perbuatan melawan hukum. Makar.

Tapi kita tahu, yang berkembang di bawah bukan hanya tafsir, melainkan pemelintiran. Khutbah-khutbah berisi kebencian marak di mana-mana. Framing tentang invasi orang cina daratan terus dihembuskan. Stigma terhadap Ahok terus ditempelkan. Ahok dijadikan triger dari rencana jahat para taipan. Bahwa di belakang Ahok ada mufakat keji untuk menguasai Indonesia. Ada sekelompok mafia bernama Sembilan Naga.

Padahal kalaupun kelompok itu memang ada, mereka sudah bercokol sejak jaman Soeharto. Penguasa terdahulu bisa dipastikan telah "berbisnis" dengan mereka. Tapi kenapa hanya Ahok yang dijadikan kambing hitam? Pendukung Ahok boleh menang di media sosial. Mereka bisa menangkis tuduhan dengan mudah. Tapi apa yang merayap di bawah, di dunia nyata sana, tak segampang itu dihentikan.

Orang-orang meyakini bahwa Ahok telah menghina Alquran. Bahkan Ahok dinyatakan menjual pulau G. Mereka tidak perduli itu pulau buatan bernama reklamasi. Mereka tak mau tahu proyek itu sudah dimulai sejak jaman Orde Baru. Pokoknya Ahok diyakini telah menjual pulau, apapun bentuknya itu, Indonesia dalam bahaya, titik.

Ahok adalah triger dari senjata pemusnah massal bernama Cinaisasi Indonesia. Itu yang mereka yakini. Mereka tak ada waktu untuk memahami persoalan sebenarnya, dan memang tak ada yang perduli. Orang-orang waras tentu mudah memilah, mana hoax, mana yang logis. Orang-orang yang hatinya tenang mampu memilih, mana provokasi, mana kebenaran.

Tapi banyak yang menelan begitu saja kabar bohong itu. Padahal kita tahu, untuk jadi pengibar Bendera Pusaka saja terjadi diskriminasi. Etnis minoritas itu dipersulit dalam politik dan militer sejak lama. Mereka berkembang dan bertahan hidup melalui jalur lain, perekonomian. Namun yang mencengangkan, kasus Ahok ini juga dijadikan ajang pamer kebodohan. Baru saja Habib Novel menuntut Ahok dengan dalih yang sangat aneh.

Ahok dinilai telah merugikannya secara materiil, mengingat omset yang didapat dari berdakwah hilang. Gara-gara ucapan Ahok, jadwal ceramahnya di sekitar Pulau Seribu dibatalkan. Dan ia menuntut ganti atas tarif dakwah yang batal itu. Yang hilang dari kita akibat peristiwa itu adalah rasa malu. Menerima bisyarah, bayaran, upah berdakwah, tentu boleh. Tapi meminta bayaran, memasang tarif, menuntut upah, hukumnya haram. Jelas haram. Selain yang bersangkutan kehilangan pahala dakwahnya. Ada belasan ayat Quran yang menegaskan hal ini. Ada hadist-hadist Nabi yang menjelaskan soal ini.

Tapi apakah ustadz-ustadz televisi yang kata-katanya manis itu paham soal ini? Saya tidak yakin.

Habib Novel tidak saja menunjukkan bahwa ia telah memasang tarif, ia bahkan menuntut jumlah tarif yang hilang itu. Perbuatan rendah yang memalukan ini tidak saja mengubur akal sehat, tapi sebuah peringatan bahaya telah ditabuh. Jika pendakwah Indonesia rata-rata memasang tarif seperti itu, islam mengalami persoalan serius. Ada pengeroposan dari dalam. Dan celakanya, corong agama bernama dai itu yang memulainya.

Saya tidak tahu Habib pada nama Habib Novel itu gelar atau memang asli namanya. Karena syarat untuk diberi gelar habib sangat banyak, di antaranya wara. Sekarang ini banyak sekali Sayid yang digelari Habib, padahal tidak punya jamaah. Jika Habib pada nama depan Novel itu memang gelar, mestinya lembaga pencatat keturunan Nabi melayangkan protes. Karena ini sudah jelas hal yang memalukan.

Orang-orang yang makan dari "mulutnya" itulah sebenar penista agama.

Tapi mereka juga tak bisa disalahkan, jika tidak tahu persoalan mendasar ini. Maklum saja, untuk bisa paham orang harus nyantri, belajar pada ahlinya. Banyak orang yang bisa berceramah, tapi tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni. Aa Gym adalah contoh, bagaimana ia (pernah) jadi panutan begitu banyak orang, tanpa melalui proses pembelajaran ilmu agama secara mendalam.

Dalam hal ini, harapan terbesar ada di pundak MUI. Itupun jika lembaga ini tak dimaksudkan sebagai tukang stempel halal saja. Mereka harus mencegah kerusakan ini sebelum bertambah parah. MUI sebagai "pemelihara" umat, sebagaimana slogannya itu, mestinya tanggap keadaan.

Jika MUI tak bergerak melihat fenomena memalukan ini, mestinya ormas besar seperti NU dan Muhamadiyah mendorong Pemerintah untuk melakukan uji kompetensi pada ulama abal-abal yang hobi pasang tarif itu. Mereka harus menyeleksi ustadz sungguhan sebelum tampil di media. Melihat sanad keilmuannya. Bukan mualaf sok tahu yang berani menyesatkan dan mengkafirkan sesuka hati.

Indonesia darurat uji kompetensi ulama. Jangan sampai pewaris para nabi ini disusupi manusia bermental receh, mereka yang menjual agama hanya demi tarif manggung. Indonesia benar-benar berkabung. Kasus Habib Novel ini membuat saya ingin berteriak keras-keras, mana suara orang-orang waras!?

Penulis: Kajitow Elkayeni

(Baca juga: Rabithah Alawiyah: Novel Bamukmin FPI Bukan Habib )

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design