Sejarah, Konflik dan Rebutan Tahta - suara-onlin
Home » , , » Sejarah, Konflik dan Rebutan Tahta

Sejarah, Konflik dan Rebutan Tahta

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: December 06, 2016



Oleh: Gus Rijal Mumaziq Z

Sejarah yang kita pelajari sejak MI/SD hingga kini adalah sejarah konflik, bukan sejarah sosial, bukan pula sejarah intelektual. Karena itu, nuansanya murni konflik, rebutan tahta, hingga gegeran soal dominasi ekonomi-politik.

Di Jawa, sejak era Amangkurat hingga Tjokroaminoto, yang tertera di buku-buku sejarah hanyalah konflik. Baik gegeran internal keraton maupun perang dengan penjajah. Demikian pula dengan kawasan lain: Aceh, Gowa, Maluku, dan seterusnya. Nyaris tidak disebut produk intelektual kaum agamawan / cendekiawan dalam mengisi ruang waktu saat itu.

Jawa dan kawasan lain di Nusantara seolah mengalami masa fatroh keilmuan, kekosongan akademis. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut banyak ulama dalam kurun 3-4 abad ini yang berkontribusi penting dalam khazanah ilmiah Islam Nusantara.

Banyak nama-nama ulama besar yang hilir mudik di era saat itu. Dari Syaikh Abdurrauf Assinkili, Syaikh Arsyad Banjari, Syaikh Yusuf Makasar, Syaikh Abdussamad Falimbani, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Minangkabawi, dst. Hanya saja uraian kiprah beliau-beliau dan kajian seputar karyanya nyaris minim. Maka, jadilah anak-anak hingga remaja akrab dengan nalar peperangan, contoh kekerasan, dan permakluman atas sebuah tragedi.

Selain sejarah konflik dan militeristik, kecenderungan sejarah di Tanah Air adalah sejarah orang-orang besar, sejarah tokoh (politik), dan sejarah elit. Nyaris tidak ditemui sejarah orang-orang "kecil", orang biasa. Sehingga sejarah pun dominan pola pikir elit, yang serius, sakral, dan hegemonik. Dulu, Sunan Kalijaga melakukan pembongkaran pakem sejarah elitis ini dengan cara menyisipkan para Punakawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong) dalam epos pewayangan Mahabarata.

Sunan Kalijaga dengan cerdas memberikan pola dekonstruktif apabila orang-orang biasa dengan komedikal berperan dalam kisah-kisah utama seputar istana. Sang Sunan meletakkan aspek manusiawi dalam bangunan istana, sebagaimana sebelumnya ada Abu Nawas di samping Harun Arrasyid, dan Nasruddin Hoja di hadapan Timurlenk.

Kita beruntung pula ketika Sartono Kartodirdjo melakukan perubahan pola dalam kajian akademis ilmiah di bidang kesejarahan Nusantara dengan mengkaji "Pemberontakan Petani Banten, 1888" dalam disertasinya di Yale University. Sebelumnya, sejarah Indonesia sangat Nederlandsentris. Dia mengawalinya dengan cara menuliskan "orang-orang kecil" yang menuliskan tinta sejarahnya sendiri dengan cara melakukan pemberontakan atas kesewenang-wenangan kolonialis.

Baginya, orang Indonesia berhak pula menuliskan sejarah bangsanya dengan segala kekayaan perspektifnya. Kajian seputar pemberontakaan petani yang dipimpin para kiai tarekat ini seolah menjadi arus baru historiografi Indonesia.

Di ujung lain, ada KH. Saifuddin Zuhri yang menulis sebuah memoar "Guruku Orang-Orang dari Pesantren" maupun "Berangkat dari Pesantren". Dua buku yang cukup bagus menggambarkan orang-orang "kecil" dari pesantren dengan kiprah besar. Kiprah kecendekiaan, keislaman, dan kebangsaan para kiai.

Jika Sartono Kartodirdjo menuliskan karyanya dari sudut pandang akademis ilmiah, Kiai Saifuddin menuliskanya dengan gaya romantik-faktual. Dia mengagumi guru-gurunya, merekam kiprahnya, sekaligus menunjukkan apabila orang-orang bersarung ini memiliki kontribusi penting dalam kiprah kebangsaan. "Guruku Orang-Orang dari Pesantren" ditulis tahun 1974. Sebuah terobosan yang cerdas di saat kajian akademis saat itu sama sekali tidak melirik kalangan pesantren sebagai "obyek penelitian" yang baik dan berharga.

Sedangkan "Berangkat Dari Pesantren" terbit pada tahun 1986, di saat pandangan minor mengenai pesantren mulai luruh, dan sekaligus menandai arah baru kajian kepesantrenan secara ilmiah seiring dengan terbitnya karya Zamakhsyari Dhofier melalu "Tradisi Pesantren" [LP3ES: 1984] yang pada mulanya merupakan disertasinya di salah satu universitas di Australia. Seiring dengan itu Gus Dur menuliskan pola pikir dan kehidupan para ulama Nusantara melalui berbagai kolomnya di Tempo dan Kompas. Sebuah langkah taktis dan cerdas dari Gus Dur karena menulis dan mempromosikan kaum bersarung justru di dua media corong sekulerisme.

Pada akhirnya, perlu ada perubahan sudut pandang melihat sejarah secara obyektif dan butuh kesadaran kembali menuliskan orang-orang biasa dengan kiprah luar biasa, maupun menuliskan kembali sosok-sosok yang menggunakan perjuangan tanpa kekerasan (non-violence). Sebab, saya curiga, kecenderungan sebagian dari kita yang menggunakan kekerasan sebagai solusi jangan-jangan adalah bagian dari siklus kekerasan yang dinarasikan dalam berbagai buku sejarah yang kita konsumsi di masa lalu maupun masa kini.
WAllahu A'lam Bisshawab

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design