Oleh: KH.A. Mustofa Bisri
Asy’ab adalah salah seorang tokoh lucu dalam legenda Arab. Di samping lucu, Asy’ab juga dikenal sangat tamak. Saking tamaknya, bila membicarakan orang yang tamak, orang Arab mengatakan: “Athma’ min Asy’ab!”, “Dia lebih tamak daripada Asy’ab.”
Begitu tamaknya si Asy’ab ini, hingga setiap kali ada orang merogok kantong, dia selalu berharap orang tersebut akan memberinya uang; setiap kali ada orang meninggal, dia selalu mengusut kalau-kalau dia mendapat wasiat dari almarhum.
Suatu hari, secara iseng, Asy’ab memberitahu rekan-rekannya bahwa dia diminta pak Fulan mengundang mereka semua besok malam, untuk hadir dalam pesta besar yang akan diselenggarakan di rumah beliau. Syahdan; pada besok malamnya ketika Asy’ab tidak menjumpai seorang pun dari rekan-rekannya, dia pun curiga. “Jangan-jangan,” katanya dalam hati, “Pak Fulan benar-benar mengadakan pesta besar.” Berpikir demikian, Asy’ab pun segera menuju ke rumah pak Fulan. Dan ternyata di rumah pak Fulan memang tidak ada apa-apa. Sepi. Asy’ab termakan oleh kebohongan dan ketamakannya sendiri.
Mendengar cerita Asy’ab ini, boleh jadi Anda tertawa dan menganggapnya konyol. Tapi marilah kita kembali ke kehidupan keseharian kita sendiri. Meskipun tidak persis cerita Asy’ab; kita sering menyaksikan bagaimana kebohongan ternyata bisa menjadi opini, hingga tidak hanya membuat yakin banyak orang, tapi juga mengecoh si pembuat kebohongan itu sendiri. Orang modern berbohong tidak sekedar karena iseng seperti Asy’ab, tapi benar-benar karena tujuan yang serius. Yaitu memenangkan kepentingan.Di zaman modern ini, keseriusan orang memperjuangkan kepentingan –acap kali disebut sebagai cara professional— sedemikian rupa, sehingga, dalam rangka itu, berbohong dan lain sebagainya pun tidak boleh tanggung-tanggung.
Kebohongan, ketamakan, dan sebagainya pada hakikatnya lahir dari ibu kandung yang satu, yaitu kebodohan jiwa. Oleh karena itu, sering kali orang yang mengemas kebohongan, ketamakan, atau yang lain dengan cara apa pun, pada akhirnya –tanpa disadari sebagaimana Asy’ab—akan ikut menuai buahnya.
Tidak jarang seorang yang terlanjur dianggap pemimpin, misalnya, yang --dengan kebodohan, kebohongan, atau dan ketamakannya— berhasil menipu umat, kemudian tanpa sadar dia ikut termakan tipuannya sendiri; lalu selanjutnya terpaksa harus mempertahankan tipuannya itu dengan tipuan-tipuan lain.
Tidak jarang dari kalangan pers, misalnya, ada yang –dengan kebodohan, kebohongan, atau dan ketamakannya—berhasil membuat suatu opini, kemudian tanpa sadar ikut mempercayainya. Lalu dalam langkah selanjutnya, terpaksa harus terus mengikuti alur opini yang dibuatnya sendiri itu. Banyak sekali orang yang menipu dirinya sendiri kemudian sangat mempercayai tipuannya lalu tanpa sadar terlepas dari ke-diri-annya.
Orang yang tidak mengenal dan tidak pernah bergaul dengan rakyat, misalnya, dan menipu dirinya sebagai wakil rakyat, kemudian dia sendiri mempercayainya, bisa saja setiap hari berlagak sebagai betul-betul wakil rakyat. Akhirnya, bila suatu ketika sempat mengaca, dia pun tak mengenali lagi dirinya sendiri.
Lihatlah, ternyata kekonyolan tidak hanya bisa terjadi atau timbul dari tokoh legenda seperti Asy’ab. Anda setiap hari bisa tertawa melihat kekonyolan-kekonyolan nyata dalam kehidupan kekinian yang bermula dari kebodohan, kebohongan, ketamakan, dan sebagainya.
Wallahu a’lam.
Asy’ab adalah salah seorang tokoh lucu dalam legenda Arab. Di samping lucu, Asy’ab juga dikenal sangat tamak. Saking tamaknya, bila membicarakan orang yang tamak, orang Arab mengatakan: “Athma’ min Asy’ab!”, “Dia lebih tamak daripada Asy’ab.”
Begitu tamaknya si Asy’ab ini, hingga setiap kali ada orang merogok kantong, dia selalu berharap orang tersebut akan memberinya uang; setiap kali ada orang meninggal, dia selalu mengusut kalau-kalau dia mendapat wasiat dari almarhum.
Suatu hari, secara iseng, Asy’ab memberitahu rekan-rekannya bahwa dia diminta pak Fulan mengundang mereka semua besok malam, untuk hadir dalam pesta besar yang akan diselenggarakan di rumah beliau. Syahdan; pada besok malamnya ketika Asy’ab tidak menjumpai seorang pun dari rekan-rekannya, dia pun curiga. “Jangan-jangan,” katanya dalam hati, “Pak Fulan benar-benar mengadakan pesta besar.” Berpikir demikian, Asy’ab pun segera menuju ke rumah pak Fulan. Dan ternyata di rumah pak Fulan memang tidak ada apa-apa. Sepi. Asy’ab termakan oleh kebohongan dan ketamakannya sendiri.
Mendengar cerita Asy’ab ini, boleh jadi Anda tertawa dan menganggapnya konyol. Tapi marilah kita kembali ke kehidupan keseharian kita sendiri. Meskipun tidak persis cerita Asy’ab; kita sering menyaksikan bagaimana kebohongan ternyata bisa menjadi opini, hingga tidak hanya membuat yakin banyak orang, tapi juga mengecoh si pembuat kebohongan itu sendiri. Orang modern berbohong tidak sekedar karena iseng seperti Asy’ab, tapi benar-benar karena tujuan yang serius. Yaitu memenangkan kepentingan.Di zaman modern ini, keseriusan orang memperjuangkan kepentingan –acap kali disebut sebagai cara professional— sedemikian rupa, sehingga, dalam rangka itu, berbohong dan lain sebagainya pun tidak boleh tanggung-tanggung.
Kebohongan, ketamakan, dan sebagainya pada hakikatnya lahir dari ibu kandung yang satu, yaitu kebodohan jiwa. Oleh karena itu, sering kali orang yang mengemas kebohongan, ketamakan, atau yang lain dengan cara apa pun, pada akhirnya –tanpa disadari sebagaimana Asy’ab—akan ikut menuai buahnya.
Tidak jarang seorang yang terlanjur dianggap pemimpin, misalnya, yang --dengan kebodohan, kebohongan, atau dan ketamakannya— berhasil menipu umat, kemudian tanpa sadar dia ikut termakan tipuannya sendiri; lalu selanjutnya terpaksa harus mempertahankan tipuannya itu dengan tipuan-tipuan lain.
Tidak jarang dari kalangan pers, misalnya, ada yang –dengan kebodohan, kebohongan, atau dan ketamakannya—berhasil membuat suatu opini, kemudian tanpa sadar ikut mempercayainya. Lalu dalam langkah selanjutnya, terpaksa harus terus mengikuti alur opini yang dibuatnya sendiri itu. Banyak sekali orang yang menipu dirinya sendiri kemudian sangat mempercayai tipuannya lalu tanpa sadar terlepas dari ke-diri-annya.
Orang yang tidak mengenal dan tidak pernah bergaul dengan rakyat, misalnya, dan menipu dirinya sebagai wakil rakyat, kemudian dia sendiri mempercayainya, bisa saja setiap hari berlagak sebagai betul-betul wakil rakyat. Akhirnya, bila suatu ketika sempat mengaca, dia pun tak mengenali lagi dirinya sendiri.
Lihatlah, ternyata kekonyolan tidak hanya bisa terjadi atau timbul dari tokoh legenda seperti Asy’ab. Anda setiap hari bisa tertawa melihat kekonyolan-kekonyolan nyata dalam kehidupan kekinian yang bermula dari kebodohan, kebohongan, ketamakan, dan sebagainya.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment