Ganjar, Kendeng dan Kerakusan Kita - suara-onlin
Home » , , » Ganjar, Kendeng dan Kerakusan Kita

Ganjar, Kendeng dan Kerakusan Kita

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: December 09, 2016

Serombongan petani dari daerah Pegunungan Kendeng jalan kaki dari kampungnya ke Semarang. Jarak dari dusun mereka bisa mencapai lebih dari seratus kilo meter. Petani-petani itu membawa bendera lusuh, caping, jas hujan dan sedikit harapan.


Sayangnya, mereka hanya memperjuangkan hak hidup, bukan penistaan agama. Orang-orang tidak perduli dengan kecemasan mereka. Masa depan anak-anak mereka tidak dianggap penting. Orang-orang heboh dengan polemik 212, 412, tapi tidak dengan derita mereka.

Maka tak heran, jika Gubernur yang hendak mereka temui lebih mementingkan penghargaan yang akan ia terima di Jakarta. Orang-orang miskin itu telah memenangkan gugatan di MA, tapi pabrik semen yang mereka gugat jalan terus. Satu perjalanan panjang yang sia-sia. Dan kini mereka tahu, jangankan hukum, Tuhan sekalipun belum tentu berpihak pada mereka. Tuhan lebih senang dengan umat yang kuat, mayoritas, orang-orang yang galak. Bukan manusia lemah, apek dan dekil seperti mereka.

Saya jelas menyalahkan Pemerintah, mereka yang memang tak tanggap persoalan sejak awal. Bibit Waluyo, gubernur waktu itu, dengan gegabah menerbitkan ijin tanpa menyertakan masyarakat setempat. Dengan mengabaikan AMDAL. Padahal mereka sudah ada di sana, jauh sebelum Negara ini ada. Tapi mereka tidak dianggap ada sebagai manusia.

Ganjar Pranowo, gubernur yang sekarang, memang ketiban tanggung-jawab. Pabrik itu telah dibangun dengan biaya tiga triliun. Sebagai pemimpin, tentu ia mengalami dilema. Melakukan langkah popular dengan membela petani Kendeng dengan risiko tekanan politik. Atau memihak pabrik semen dan kehilangan kepercayaan publik.

Saya percaya, Ganjar orang baik. Meski sebagian orang menyebutnya politikus salon, tapi saya pribadi menganggap Ganjar adalah salah satu simbol perubahan, setelah era busuk bernama Orde Baru. Ia harapan dari republik yang sakit kronis ini. Tapi di atas kebaikan, tekanan politik seringkali lebih kuat mengalahkan akal sehat.

Persoalan Agraria adalah kesalahan fatal pemerintah. Ia borok yang tidak diobati sejak lama. Tradisi korup, oportunis, menjilat pemodal, dan warisan buruk Orde Baru lainnya memperparah semua itu. Padahal banyak kasus agraria hanya berpusar soal ganti rugi dan klaim kepemilikan. Negara dengan kemampuan finansialnya sangat mampu untuk mengatasi itu secara bertahap. Tapi Pemerintah lebih senang berbicara menggunakan popor senjata.

Mereka lebih memilih menginjak orang-orang lemah itu daripada mengulurkan tangan. Mereka lebih senang menunjukkan wajah bengis dan kejam.


Di banyak tempat, polemik agraria ini dibiarkan bergejolak sejak dulu. Di Majalengka, Urut Sewu, Mesuji, dan banyak lagi. Orang-orang berjuang merebut hak mereka atas tanah dan air. Pemerintah melupakan sejarah. Mereka bukan penumpang di bantaran kali, mencaplok badan jalan, atau merebut ruang publik. Leluhur mereka lahir dan tumbuh di tempat itu. Jauh sebelum Pemerintah ada.

Orang-orang dusun itu tidak sedang membangkang. Mereka hanya menghendaki hak untuk hidup. Jika pribumi dan mayoritas saja diperlakukan tidak adil, apalagi jeritan para minoritas di negeri ini. Kita begitu rakus dengan hak orang banyak. Kita begitu murka terhadap perbedaan. Kita bangsa yang pandai bernyanyi tentang keagungan, tapi lupa pada kebiadaban sehari-hari. Betapa hipokritnya kita!

Saya pernah putus asa dengan Negara ini. Kemudian saya memiliki harapan pada Jokowi. Semoga Ganjar juga mengerti, bahwa ia bagian dari harapan baru itu. Ia bukan politikus salon. Keadilan ada di tangannya, dan ia punya hak untuk memutuskannya. Demi Kendeng, demi Indonesia.

penulis: Kajitow Elkayeni


Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design