Oleh: KH. Abdi Kurnia Djohan, MA
(Pengurus LD NU Pusat, Pengajar MKU Agama di UI dan Pengajar di Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur'an Al-Hikam Depok).
Pertama kali saya tahu nama beliau pada tahun 1996 di salah satu Masjid di kawasan Roxy. Beberapa kali saya melihat nama beliau terpasang di spanduk acara-acara keislaman di kawasan Petojo dan Roxy. Pada waktu itu, nama beliaulah setenar sekarang. Ceramah-ceramah beliau beliau masih kalah pamor dibandingkan ceramah da'i sejuta umat, almarhum KH. Zaenuddin MZ, yang memang mendominasi di mana-mana.
Saya sering bertanya kepada kawan yang tinggal di kawasan Petojo perihal nama Habib Rizieq siapa beliau dan bagaimana penyampaian ceramah beliau. Beberapa kawan yang berlatar belakang persis menganggao bahwa ceramah Habib Rizieq agak berbeda dengan kebanyakan habib di Jakarta, yang lebih suka mengangkat persoalan fadhoil (keutamaan ibadah) dibandingkan persoalan umat. Sementara itu, beberapa lagi berpendapat bahwa isi ceramah Ha ib Rizieq tidak berbeda dengan Habib Alwi Jamalullail atau puteranya Habib Idrus Jamalul Lail.
Memang pada masa-masa itu nama Habib Rizieq belum dikenal luas, di samping karena beliau juga baru kembali dari menuntut ilmu di Riyadh Saudi Arabia. Pasca lengsernya Soeharto dari kekuasaan, tepatnya pada tahun 1998 nama Habib Rizieq mulai muncul ke permukaan. Naiknya nama beliau menyertai beberapa isu, diantaranya adalah dibentuknya organisasi milisi oleh salah seorang petinggi ABRI ketika itu, yang nama PAM SWAKARASA, isu Rusuh AMBON dan terakhir berdirinya FPI yang menjadi "kendaraan politik"--jika boleh dikatakan begitu--Habib Rizieq.
Ingatan ini masih menyimpan informasi bahwa kemunculan nama beliau terkait dengan peristiwa pembunuhan di Cawang dan bentrokan massa di Tugu Proklamasi berkaitan dengan akan diadakannya Sidang Istimewa MPR 1998. Momentum-momentum itu yang "memaksa" Habib Rizieq tampil ke gelanggang politik massa untuk pertama kalinya. Bisa dikatakan bahwa Habib Rizieq ketika itu "dipaksa matang" untuk berpolitik. Tanpa bekal pengalaman politik yang mapan, Habib Rizieq seakan harus muncul untuk memperjuangkan kepentingan politik yang dihubungkan dengan kepentingan umat Islam.
Pada saat yang bersamaan, di sisi lain Poros Tengah yang dikomando oleh Amien Rais, Akbar Tanjung, dan Hamzah Haz juga sedang memainkan nama yang sama untuk menjegal Megawati dan kawan-kawan menempati kursi kekuasaan.
Saya bukan pakar politik atau pengamat politik, tapi secara pribadi saya merasakan betapa panasnya situasi saat itu, sehingga berita bentrokan massa hampir setiap hari menghiasi headline media cetak atau elektronik.
Tanpa bekal jam terbang yang cukup, publik bertanya-tanya atas dukungan siapa Habib Rizieq tampil ke gelanggang politik pada waktu itu? Apakah ada korelasi antara manuver yang dilakukan Habib Rizieq dengan manuver yang dilakukan poros tengah di parlemen? Banyak spekulasi bermunculan. Tapi, yang pasti ketika Poros Tengah berhasil menjegal Megawati dan kawan-kawan untuk menduduki kursi kekuasaan, padahal PDIP adalah pemenang PEMILU 1999, Habib Rizieq tidak mendapatkan bagian apapun dari manuver yang pernah dilakukannya.
Pasca perhelatan Sidang Istimewa MPR yang menghantarkan Gus Dur sebagai Presiden RI, nama Habib Rizieq mulai jarang muncul. Namun gosip tentang beliau pun terus beredar di tengah masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa Habib Rizieq memberi support kepada Ust. Ja'far Umar Thalib yang membentuk Laskar Ahlussunnah wal Jama'ah, untuk "berjihad" di Ambon dan sekitarnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa Habib Rizieq kembali ke aktivitas sebelumnya yaitu berdakwah dan menyampaikan ta'lim di masjid-masjid. Bisa dikatakan dalam kurun waktu satu atau dua tahun (1999-2000) nama Habib Rizieq jarang tampil di media. Namun demikian, spanduk, baliho dan plang bertuliskan FPI menjamur di beberapa kantong jamaah para habib di kota Jakarta. Agaknya media tidak begitu tertarik untuk memberitakan konsolidasi internal Habib Rizieq di beberapa tempat di ibu kota. Karena memang pada saat itu, fokus pemberitaan media lebih banyak menyoroti persoalan komposisi kabinet dan peta politik yang riuh oleh manuver Gus Dur sebagai Presiden RI yang keempat.
Sempat luput dari pemberitaan media, nama Habib Rizieq dan FPI kembali muncul. Kali ini bukan karena isu politik, tapi karena persoalan sosial, yaitu razia miras dan pelacuran. Media massa memberitakan kegiatan laskar FPI yang memburu peredaran miras di beberapa titik di Ibu Kota dan daerah penyangga, mulai dari Mangga Besar dan Depok. Dari berbagai liputan media yang memberitakan bentrok antara FPI dengan beberapa preman diskotik, berita penyerangan FPI di Kemang pada tahun 2001, mungkin yang paling heboh. Apa pasal?
Selama masa Orde Baru Kemang dianggap sebagai daerah elit yang "untouchable". Bukan rahasia lagi, jika peredaran narkoba dan miras di Kemang berlangsung aman-aman saja tanpa ada aparat yang berani menghentikannya. Kedatangan laskar FPI melabrak kawasan Kemang tentu mengagetkan banyak orang.
Berbagai spekulasi pun bermunculan. Habib Rizieq dianggap sedang melakukan testing the water dengan membidik Kemang sebagai garapan gerakan Nahyu Munkar-nya. Di sinilah kemudian, Habib Rizieq mulai berhadap-hadapan dengan kalangan elit, yang menganggapnya sebagai ancaman.
Cukup banyak pemberitaan yang disajikan tentang Habib Rizieq. Dan bisa dikatakan semua pemberitaan tentang beliau berwarna kontraproduktif. Secara pribadi saya pun terbawa oleh atmosfer yang dibangun oleh media massa ketika itu. Beberapa pertanyaan muncul di benak ini untuk apa FPI melakukan tindakan-tindakan extra law seperti itu?
Kenapa Habib Rizieq dan FPI tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian sekiranya memang ingin membantu aparat di dalam melaksanakan penegakkan hukum? Kenapa pula FPI memainkan peran seperti FBI yang memang bekerja sebagai penegak hukum? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul di benak ini, sebagai usaha saya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di belakang Habib Rizieq.
Secara jujur saya sempat surprised dengan Habib Rizieq. Secara nasabiah, beliau memang keturunan Sayyidina Husain, yang berarti juga keturunan Baginda Rasulullah, nabi yang diimani oleh semua umat Islam. Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman, saya pernah ditanya kenapa tidak ada seorang Habib yang berpikiran revolusioner seperti datuk mereka Rasulullah? Kenapa para Habib lebih suka memainkan posisi safety player, padahal dahulu datuk mereka Rasulullah adalah pribadi yang berani menghadapi risiko dan tidak risih berada di stretch zone (zona tegang).Ketika pertama kali melihat Habib Rizieq ceramah, saya berpikir mungkin ini dzurriyyah yang ditanyakan oleh teman saya tempo hari. Namun, dengan tidak mengurangi sikap hormat kepada beliau, sebagai dzurriyatur rasul, perkenankan saya ingin memberi catatan terhadap Habib Rizieq:
1. Beliau bertolak dari garis start yang keliru ketika mengusung ide-ide revolusionernya. Berbeda dengan Rasulullah yang selalu menolak afiliasi politik sejak awal membangun gerakan dakwahnya, Habib Rizieq justru memulai gerakan dakwahnya dengan dibalut oleh pertanyaan-pertanyaan politis. Sebagai contoh, hingga saat ini Sang Habib tidak pernah menjawab dengan tuntas pertanyaan tentang kedekatan beliau dengan beberapa bintang ABRI pada masa awal reformasi, yang dianggap menjadi preseden berdirinya FPI. Pertanyaan ini semakin carut marut setelah Habib Husein al-Habsyi pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin Indonesia pernah menyebut kedekatan Habib Rizieq dengan salah satu elit tentara.
2. Jika Rasulullah berdakwah melawan totalitarianisme dengan menumbuhkan semangat egalitarianisme, semangat ini agak sulit untuk dijumpai dari isi pidato yang sering disampaikan oleh Habib Rizieq. Saya tidak mengatakan bahwa Habib Rizieq adalah pribadi yang "kasar". Beliau adalah pribadi yang tegas. Bahwa kualitas ketegasan tiap orang itu berbeda-beda karena perbedaan gen dan lingkungan tempat dibesarkan, itu adalah sesuatu yang sifatnya alamiah (nature). Namun, ketika persoalan kasar dan halus itu dibawa ke ranah ide atau isu, saya kira di sini kita semua bisa membaca dari gesture penyampaiannya. Barangkali ini disebabkan oleh dorongan politik yang memang dipaksakan di bagian awal. Seperti sangat mudah terbaca bahwa FPI berdiri tanpa kesiapan dan kematangan ideologi. Seakan persoalan ideologi bisa dibenahi sambil organisasi ini berjalan.
3. Saya agak tidak sepakat jika dikatakan bahwa Habib Rizieq mengikuti pola Sayyidina Umar ibnu al-Khatthab atau seputar sahabat agung tersebut, hanya karena ketegasan dan keberanian beliau berbicara di hadapan para penguasa. Ketidaksepakatan saya itu didasarkan kepada hal-hal berikut:
Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikannya, dapat terbaca bahwa Sayyidina Umar bukan semata-mata orang yang katakanlah "keras" tanpa konsep. Ucapannya tentang relasi Islam dan jama'ah serta kepemimpinan, menunjukkan bahwa Umar adalah seorang perencana yang sangat matang dan cermat di dalam melihat masalah. Seakan Sayyidina Umar ingin mengatakan bahwa perjuangan Islam ini tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak diawali dengan penguatan kohesi sosial di antara umat Islam itu sendiri.
Tanpa kohesi di antara sesama umat Islam, perjuangan politik hanya akan berujung kepada perebutan kekuasaan politik di antara elemen-elemen pendukungnya. Saya tidak mengerti apakah ini disadari atau tidak oleh Habib Rizieq. Setidaknya Habib Rizieq telah membuang kesempatan emas yang pernah ada dihadapannya untuk membangun kohesi di antara umat Islam, yaitu ketika memperjuangkan Gus Dur sebagai presiden untuk menjegal Megawati dan ketika umat Islam mau berkumpul dalam jumlah yang sangat fantastis--meskipun ini diragukan oleh beberapa media--pada bulan Desember yang lalu.
Mungkin akan berbeda ceritanya, ketika di dalam aksi 212 kemarin, Habib Rizieq mengakui kekhilafannya bertahan di Istana Merdeka hingga melewati batas jam malam yang ditentukan KAPOLRI pada aksi 411 beberapa waktu yang lalu. Jika opini saya ini dianggap sebagai bentuk ketakutan terhadap rezim berkuasa, saya hanya ingin bertanya pula apakah kepatuhan Rasulullah terhadap Perjanjian Hudaibiyyah yang melarangnya masuk ke Makkah itu, juga merupakan bentuk ketakutan Rasulullah terhadap penguasa Makkah?
4. Siapa yang tidak setuju dengan perjuangan mempertahankan kemuliaan ajaran islam? Saya kira semua umat Islam setuju. Namun, dalam kaitannya dengan perjuangan tersebut, perlu pula diperhatikan beberapa irisan yang sangat sensitif dan berpotensi merusak elan perjuangan politik itu sendiri. Perjuangan mempertahankan kemuliaan ajaran Islam, khususnya di Indonesia, beririsan dengan isu nasionalisme, demokrasi, dan cita kestabilan politik yang kini tampaknya tengah diupayakan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi.
Menyikapi irisan-irisan tersebut, dibutuhkan kecermatan, ketelitian dan kehati-hatian. Secara teoritis, saya mengakui setiap perjuangan politik mempunyai cita, manuver dan gestur gerakan yang sifat khas dan membedakan satu gerakan politik dengan gerakan politik lainnya. Namun, yang menjadi pertanyaan bagaimana ketika itu dinisbahkan kepada perjuangan politik Islam? Jawabannya tidak mudah. Penggunaan nama Islam pada masa sekarang, berbeda dengan penggunaan nama Islam pada masa Nabi atau pada masa sahabat.
Pada masa keemasan itu, penggunaan nama Islam bersifat tunggal. Dalam arti, yang dinamakan Islam itu adalah kelompok yang mengikuti Nabi Muhammad dan para sahabatnya secara definitif yang tinggal di Madinah--sebagai pusat kekuasaan--, Makkah, Yaman, Mesir, Syam, dan Irak. Di luar wilayah-wilayah itu, agak sulit--bukan tidak ada--menjumpai komunitas Islam sebagaimana yang dimaksud di atas. Sehingga dengan begitu, penggunaan nama Islam berikut derivaat-nya tidak akan menimbulkan masalah dan pertanyaan sebagaimana terjadi hari ini.
Dalam konteks sekarang, penggunaan nama Islam tidak lagi bersifat monolitik. Pasca perang antara Ali ibnu Abu Thalib dan Mu'awiyah penggunaan nama Islam menjadi bersifat pluralistik. Artinya setiap faksi umat Islam merasa mempunyai hak untuk menggunakan klaim Islam untuk menamakan pemikiran atau perjuangan politiknya. Kondisi seperti itu yang kini sedang dan mungkin akan terus berlangsung di Indonesia.
Masalah penggunaan nama Islam akan semakin meruncing ketika tiap-tiap faksi umat Islam merasa tidak terwakili oleh perjuangan politik yang mengatasnamakan Islam oleh kelompok lain. Sebagai contoh, ketika PKS memposisikan diri sebagai Partai Dakwah, tidak semua umat Islam merasa menjadi bagian dari perjuangan dakwah PKS. Pun begitu juga ketika PKB dan NU mengangkat tema Islam Nusantara sebagai identitas keislaman di Indonesia, semua simpatisan PKS, warga Muhammadiyah, apalagi jamaah Wahabi merasa tidak terwakili dengan identitas Islam yang diusung NU tersebut.
Masalah fragmentasi di tubuh umat Islam, sebagai konsekuensi dari tumbuh berkembangnya ragam penafsiran ini, yang sepertinya tidak begitu dicermati oleh Habib Rizieq. Seruan-seruan Habib Rizieq tentang perjuangan politik Islam, seperti menisbikan fenomena fragmentasi dan menafikan realitas multitafsir tentang Islam yang sudah ada di tengah-tengah umat Islam tersebut. Ditambah lagi dengan belum terlihatnya di hadapan publik, usaha Habib Rizieq membangun komunikasi dengan ormas-ormas Islam, terutama NU dalam rangka membangun saling pemahaman terhadap tafsir yang digunakan di masing-masing organisasi.
Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan sikap Habib Rizieq yang seperti "memusuhi" Ketua Tanfidziyah NU, yang merupakan simbol kehormatan warga NU. Bisa jadi, Habib Rizieq lupa bahwa kultur Islam tradisional lebih bercorak patronisme dibandingkan dengan kultur Islam moderen yang cenderung egaliter dan bebas. Padahal, jika kita lihat dari dekat kultur seperti NU pun juga berkembang di lingkungan FPI.
Tulisan ini saya coba sajikan secara obyektif, dengan tidak bermaksud men-diskredit-kan al-Mukarram Habib Rizieq Shihab. Terlepas dari kontroversi yang muncul dari manuver politik beliau, saya tetap menaruh hormat kepada beliau. Doa saya yang terbaik semoga Allah selalu menjaga dan melindungi beliau. Semoga Allah membuka pintu kebaikan bagi umat ini.
َاللَّهُمَّ اَفْتَحْ لَنَا الْخَيْرَ وَاجْعَلْنَا ِمنْ اَهْلِ الْخَيْرِ
(Pengurus LD NU Pusat, Pengajar MKU Agama di UI dan Pengajar di Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur'an Al-Hikam Depok).
Pertama kali saya tahu nama beliau pada tahun 1996 di salah satu Masjid di kawasan Roxy. Beberapa kali saya melihat nama beliau terpasang di spanduk acara-acara keislaman di kawasan Petojo dan Roxy. Pada waktu itu, nama beliaulah setenar sekarang. Ceramah-ceramah beliau beliau masih kalah pamor dibandingkan ceramah da'i sejuta umat, almarhum KH. Zaenuddin MZ, yang memang mendominasi di mana-mana.
Saya sering bertanya kepada kawan yang tinggal di kawasan Petojo perihal nama Habib Rizieq siapa beliau dan bagaimana penyampaian ceramah beliau. Beberapa kawan yang berlatar belakang persis menganggao bahwa ceramah Habib Rizieq agak berbeda dengan kebanyakan habib di Jakarta, yang lebih suka mengangkat persoalan fadhoil (keutamaan ibadah) dibandingkan persoalan umat. Sementara itu, beberapa lagi berpendapat bahwa isi ceramah Ha ib Rizieq tidak berbeda dengan Habib Alwi Jamalullail atau puteranya Habib Idrus Jamalul Lail.
Memang pada masa-masa itu nama Habib Rizieq belum dikenal luas, di samping karena beliau juga baru kembali dari menuntut ilmu di Riyadh Saudi Arabia. Pasca lengsernya Soeharto dari kekuasaan, tepatnya pada tahun 1998 nama Habib Rizieq mulai muncul ke permukaan. Naiknya nama beliau menyertai beberapa isu, diantaranya adalah dibentuknya organisasi milisi oleh salah seorang petinggi ABRI ketika itu, yang nama PAM SWAKARASA, isu Rusuh AMBON dan terakhir berdirinya FPI yang menjadi "kendaraan politik"--jika boleh dikatakan begitu--Habib Rizieq.
Ingatan ini masih menyimpan informasi bahwa kemunculan nama beliau terkait dengan peristiwa pembunuhan di Cawang dan bentrokan massa di Tugu Proklamasi berkaitan dengan akan diadakannya Sidang Istimewa MPR 1998. Momentum-momentum itu yang "memaksa" Habib Rizieq tampil ke gelanggang politik massa untuk pertama kalinya. Bisa dikatakan bahwa Habib Rizieq ketika itu "dipaksa matang" untuk berpolitik. Tanpa bekal pengalaman politik yang mapan, Habib Rizieq seakan harus muncul untuk memperjuangkan kepentingan politik yang dihubungkan dengan kepentingan umat Islam.
Pada saat yang bersamaan, di sisi lain Poros Tengah yang dikomando oleh Amien Rais, Akbar Tanjung, dan Hamzah Haz juga sedang memainkan nama yang sama untuk menjegal Megawati dan kawan-kawan menempati kursi kekuasaan.
Saya bukan pakar politik atau pengamat politik, tapi secara pribadi saya merasakan betapa panasnya situasi saat itu, sehingga berita bentrokan massa hampir setiap hari menghiasi headline media cetak atau elektronik.
Tanpa bekal jam terbang yang cukup, publik bertanya-tanya atas dukungan siapa Habib Rizieq tampil ke gelanggang politik pada waktu itu? Apakah ada korelasi antara manuver yang dilakukan Habib Rizieq dengan manuver yang dilakukan poros tengah di parlemen? Banyak spekulasi bermunculan. Tapi, yang pasti ketika Poros Tengah berhasil menjegal Megawati dan kawan-kawan untuk menduduki kursi kekuasaan, padahal PDIP adalah pemenang PEMILU 1999, Habib Rizieq tidak mendapatkan bagian apapun dari manuver yang pernah dilakukannya.
Pasca perhelatan Sidang Istimewa MPR yang menghantarkan Gus Dur sebagai Presiden RI, nama Habib Rizieq mulai jarang muncul. Namun gosip tentang beliau pun terus beredar di tengah masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa Habib Rizieq memberi support kepada Ust. Ja'far Umar Thalib yang membentuk Laskar Ahlussunnah wal Jama'ah, untuk "berjihad" di Ambon dan sekitarnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa Habib Rizieq kembali ke aktivitas sebelumnya yaitu berdakwah dan menyampaikan ta'lim di masjid-masjid. Bisa dikatakan dalam kurun waktu satu atau dua tahun (1999-2000) nama Habib Rizieq jarang tampil di media. Namun demikian, spanduk, baliho dan plang bertuliskan FPI menjamur di beberapa kantong jamaah para habib di kota Jakarta. Agaknya media tidak begitu tertarik untuk memberitakan konsolidasi internal Habib Rizieq di beberapa tempat di ibu kota. Karena memang pada saat itu, fokus pemberitaan media lebih banyak menyoroti persoalan komposisi kabinet dan peta politik yang riuh oleh manuver Gus Dur sebagai Presiden RI yang keempat.
Sempat luput dari pemberitaan media, nama Habib Rizieq dan FPI kembali muncul. Kali ini bukan karena isu politik, tapi karena persoalan sosial, yaitu razia miras dan pelacuran. Media massa memberitakan kegiatan laskar FPI yang memburu peredaran miras di beberapa titik di Ibu Kota dan daerah penyangga, mulai dari Mangga Besar dan Depok. Dari berbagai liputan media yang memberitakan bentrok antara FPI dengan beberapa preman diskotik, berita penyerangan FPI di Kemang pada tahun 2001, mungkin yang paling heboh. Apa pasal?
Selama masa Orde Baru Kemang dianggap sebagai daerah elit yang "untouchable". Bukan rahasia lagi, jika peredaran narkoba dan miras di Kemang berlangsung aman-aman saja tanpa ada aparat yang berani menghentikannya. Kedatangan laskar FPI melabrak kawasan Kemang tentu mengagetkan banyak orang.
Berbagai spekulasi pun bermunculan. Habib Rizieq dianggap sedang melakukan testing the water dengan membidik Kemang sebagai garapan gerakan Nahyu Munkar-nya. Di sinilah kemudian, Habib Rizieq mulai berhadap-hadapan dengan kalangan elit, yang menganggapnya sebagai ancaman.
Cukup banyak pemberitaan yang disajikan tentang Habib Rizieq. Dan bisa dikatakan semua pemberitaan tentang beliau berwarna kontraproduktif. Secara pribadi saya pun terbawa oleh atmosfer yang dibangun oleh media massa ketika itu. Beberapa pertanyaan muncul di benak ini untuk apa FPI melakukan tindakan-tindakan extra law seperti itu?
Kenapa Habib Rizieq dan FPI tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian sekiranya memang ingin membantu aparat di dalam melaksanakan penegakkan hukum? Kenapa pula FPI memainkan peran seperti FBI yang memang bekerja sebagai penegak hukum? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul di benak ini, sebagai usaha saya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di belakang Habib Rizieq.
Secara jujur saya sempat surprised dengan Habib Rizieq. Secara nasabiah, beliau memang keturunan Sayyidina Husain, yang berarti juga keturunan Baginda Rasulullah, nabi yang diimani oleh semua umat Islam. Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman, saya pernah ditanya kenapa tidak ada seorang Habib yang berpikiran revolusioner seperti datuk mereka Rasulullah? Kenapa para Habib lebih suka memainkan posisi safety player, padahal dahulu datuk mereka Rasulullah adalah pribadi yang berani menghadapi risiko dan tidak risih berada di stretch zone (zona tegang).Ketika pertama kali melihat Habib Rizieq ceramah, saya berpikir mungkin ini dzurriyyah yang ditanyakan oleh teman saya tempo hari. Namun, dengan tidak mengurangi sikap hormat kepada beliau, sebagai dzurriyatur rasul, perkenankan saya ingin memberi catatan terhadap Habib Rizieq:
1. Beliau bertolak dari garis start yang keliru ketika mengusung ide-ide revolusionernya. Berbeda dengan Rasulullah yang selalu menolak afiliasi politik sejak awal membangun gerakan dakwahnya, Habib Rizieq justru memulai gerakan dakwahnya dengan dibalut oleh pertanyaan-pertanyaan politis. Sebagai contoh, hingga saat ini Sang Habib tidak pernah menjawab dengan tuntas pertanyaan tentang kedekatan beliau dengan beberapa bintang ABRI pada masa awal reformasi, yang dianggap menjadi preseden berdirinya FPI. Pertanyaan ini semakin carut marut setelah Habib Husein al-Habsyi pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin Indonesia pernah menyebut kedekatan Habib Rizieq dengan salah satu elit tentara.
2. Jika Rasulullah berdakwah melawan totalitarianisme dengan menumbuhkan semangat egalitarianisme, semangat ini agak sulit untuk dijumpai dari isi pidato yang sering disampaikan oleh Habib Rizieq. Saya tidak mengatakan bahwa Habib Rizieq adalah pribadi yang "kasar". Beliau adalah pribadi yang tegas. Bahwa kualitas ketegasan tiap orang itu berbeda-beda karena perbedaan gen dan lingkungan tempat dibesarkan, itu adalah sesuatu yang sifatnya alamiah (nature). Namun, ketika persoalan kasar dan halus itu dibawa ke ranah ide atau isu, saya kira di sini kita semua bisa membaca dari gesture penyampaiannya. Barangkali ini disebabkan oleh dorongan politik yang memang dipaksakan di bagian awal. Seperti sangat mudah terbaca bahwa FPI berdiri tanpa kesiapan dan kematangan ideologi. Seakan persoalan ideologi bisa dibenahi sambil organisasi ini berjalan.
3. Saya agak tidak sepakat jika dikatakan bahwa Habib Rizieq mengikuti pola Sayyidina Umar ibnu al-Khatthab atau seputar sahabat agung tersebut, hanya karena ketegasan dan keberanian beliau berbicara di hadapan para penguasa. Ketidaksepakatan saya itu didasarkan kepada hal-hal berikut:
- A. Bahwa karakter keras Sayyidina Umar ibnu al-Khatthab adalah karakter bawaan orang Arab yang memang "dipaksa" keras oleh situasi dan kondisi di mana mereka tinggal.
- B. Bahwa sikap keras Umar ibnu al-Khatthab selalu dikaitkan dengan kewenangan yang beliau miliki sebagai utusan Rasulullah dan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan.
-
C. Bahwa Umar ibnu al-Khatthab di dalam memperjuangkan cita-cita politik mengutamakan pendekatan ilmu, dibandingkan pendekatan kekuasaan. Ini misalnya bisa kita baca dari pernyataan beliau:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ اَنْ تُسَوَّدُوا
"Dalamilah dulu pemahaman (ilmu) sebelum kalian memimpin."
juga pernyataan yang lain:
لاَ اِسْلاَمَ اِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةَ اِلاَّ بِاْلاِمَامَةِ
"Tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah dan tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan."
Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikannya, dapat terbaca bahwa Sayyidina Umar bukan semata-mata orang yang katakanlah "keras" tanpa konsep. Ucapannya tentang relasi Islam dan jama'ah serta kepemimpinan, menunjukkan bahwa Umar adalah seorang perencana yang sangat matang dan cermat di dalam melihat masalah. Seakan Sayyidina Umar ingin mengatakan bahwa perjuangan Islam ini tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak diawali dengan penguatan kohesi sosial di antara umat Islam itu sendiri.
Tanpa kohesi di antara sesama umat Islam, perjuangan politik hanya akan berujung kepada perebutan kekuasaan politik di antara elemen-elemen pendukungnya. Saya tidak mengerti apakah ini disadari atau tidak oleh Habib Rizieq. Setidaknya Habib Rizieq telah membuang kesempatan emas yang pernah ada dihadapannya untuk membangun kohesi di antara umat Islam, yaitu ketika memperjuangkan Gus Dur sebagai presiden untuk menjegal Megawati dan ketika umat Islam mau berkumpul dalam jumlah yang sangat fantastis--meskipun ini diragukan oleh beberapa media--pada bulan Desember yang lalu.
Mungkin akan berbeda ceritanya, ketika di dalam aksi 212 kemarin, Habib Rizieq mengakui kekhilafannya bertahan di Istana Merdeka hingga melewati batas jam malam yang ditentukan KAPOLRI pada aksi 411 beberapa waktu yang lalu. Jika opini saya ini dianggap sebagai bentuk ketakutan terhadap rezim berkuasa, saya hanya ingin bertanya pula apakah kepatuhan Rasulullah terhadap Perjanjian Hudaibiyyah yang melarangnya masuk ke Makkah itu, juga merupakan bentuk ketakutan Rasulullah terhadap penguasa Makkah?
4. Siapa yang tidak setuju dengan perjuangan mempertahankan kemuliaan ajaran islam? Saya kira semua umat Islam setuju. Namun, dalam kaitannya dengan perjuangan tersebut, perlu pula diperhatikan beberapa irisan yang sangat sensitif dan berpotensi merusak elan perjuangan politik itu sendiri. Perjuangan mempertahankan kemuliaan ajaran Islam, khususnya di Indonesia, beririsan dengan isu nasionalisme, demokrasi, dan cita kestabilan politik yang kini tampaknya tengah diupayakan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi.
Menyikapi irisan-irisan tersebut, dibutuhkan kecermatan, ketelitian dan kehati-hatian. Secara teoritis, saya mengakui setiap perjuangan politik mempunyai cita, manuver dan gestur gerakan yang sifat khas dan membedakan satu gerakan politik dengan gerakan politik lainnya. Namun, yang menjadi pertanyaan bagaimana ketika itu dinisbahkan kepada perjuangan politik Islam? Jawabannya tidak mudah. Penggunaan nama Islam pada masa sekarang, berbeda dengan penggunaan nama Islam pada masa Nabi atau pada masa sahabat.
Pada masa keemasan itu, penggunaan nama Islam bersifat tunggal. Dalam arti, yang dinamakan Islam itu adalah kelompok yang mengikuti Nabi Muhammad dan para sahabatnya secara definitif yang tinggal di Madinah--sebagai pusat kekuasaan--, Makkah, Yaman, Mesir, Syam, dan Irak. Di luar wilayah-wilayah itu, agak sulit--bukan tidak ada--menjumpai komunitas Islam sebagaimana yang dimaksud di atas. Sehingga dengan begitu, penggunaan nama Islam berikut derivaat-nya tidak akan menimbulkan masalah dan pertanyaan sebagaimana terjadi hari ini.
Dalam konteks sekarang, penggunaan nama Islam tidak lagi bersifat monolitik. Pasca perang antara Ali ibnu Abu Thalib dan Mu'awiyah penggunaan nama Islam menjadi bersifat pluralistik. Artinya setiap faksi umat Islam merasa mempunyai hak untuk menggunakan klaim Islam untuk menamakan pemikiran atau perjuangan politiknya. Kondisi seperti itu yang kini sedang dan mungkin akan terus berlangsung di Indonesia.
Masalah penggunaan nama Islam akan semakin meruncing ketika tiap-tiap faksi umat Islam merasa tidak terwakili oleh perjuangan politik yang mengatasnamakan Islam oleh kelompok lain. Sebagai contoh, ketika PKS memposisikan diri sebagai Partai Dakwah, tidak semua umat Islam merasa menjadi bagian dari perjuangan dakwah PKS. Pun begitu juga ketika PKB dan NU mengangkat tema Islam Nusantara sebagai identitas keislaman di Indonesia, semua simpatisan PKS, warga Muhammadiyah, apalagi jamaah Wahabi merasa tidak terwakili dengan identitas Islam yang diusung NU tersebut.
Masalah fragmentasi di tubuh umat Islam, sebagai konsekuensi dari tumbuh berkembangnya ragam penafsiran ini, yang sepertinya tidak begitu dicermati oleh Habib Rizieq. Seruan-seruan Habib Rizieq tentang perjuangan politik Islam, seperti menisbikan fenomena fragmentasi dan menafikan realitas multitafsir tentang Islam yang sudah ada di tengah-tengah umat Islam tersebut. Ditambah lagi dengan belum terlihatnya di hadapan publik, usaha Habib Rizieq membangun komunikasi dengan ormas-ormas Islam, terutama NU dalam rangka membangun saling pemahaman terhadap tafsir yang digunakan di masing-masing organisasi.
Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan sikap Habib Rizieq yang seperti "memusuhi" Ketua Tanfidziyah NU, yang merupakan simbol kehormatan warga NU. Bisa jadi, Habib Rizieq lupa bahwa kultur Islam tradisional lebih bercorak patronisme dibandingkan dengan kultur Islam moderen yang cenderung egaliter dan bebas. Padahal, jika kita lihat dari dekat kultur seperti NU pun juga berkembang di lingkungan FPI.
Tulisan ini saya coba sajikan secara obyektif, dengan tidak bermaksud men-diskredit-kan al-Mukarram Habib Rizieq Shihab. Terlepas dari kontroversi yang muncul dari manuver politik beliau, saya tetap menaruh hormat kepada beliau. Doa saya yang terbaik semoga Allah selalu menjaga dan melindungi beliau. Semoga Allah membuka pintu kebaikan bagi umat ini.
َاللَّهُمَّ اَفْتَحْ لَنَا الْخَيْرَ وَاجْعَلْنَا ِمنْ اَهْلِ الْخَيْرِ
0 komentar:
Post a Comment