Seorang laki-laki paruh baya berjalan tegap dan gagah, dibawah pengawalan sekelompok orang berseragam Polisi Militer dan menenteng senapan.
Jam menunjukan tepat pukul 12 malam saat itu, di sebuah kompleks pemakaman di desa Ngalih Surakarta. Hari itu tanggal 19 Desember 1948, hari yang sama saat ibu kota negara Yogyakarta jatuh ke tangan tentara kerajaan Belanda yang mengadakan agresi militernya yang ke II. Presiden Soekarno dan wakil presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta di tangkap dan ditawan oleh Belanda.
Panglima besar Jenderal Soedirman menyingkir keluar kota memulai gerilyanya di hutan-hutan. Seluruh kekuatan sipil dan militer Republik lumpuh dan negara proklamasi 17 Agustus ini nyaris tamat riwayatnya.
Lelaki berkaca mata tebal dan berambut ikal ini melangkah dengan mantap menuju tempat eksekusinya. Dua tangannya dia memegang sebuah buku usang berjudul "Romeo and Juliet", sebuah novel roman klasik karya penulis legendaris Inggris William shakespeare. Novel yang entah sudah berapa kali ia tamat membacanya semenjak ia masih duduk di bangku kuliah hukum di Universitas Leiden, negeri Belanda di pertengahan dasawarsa 1920-an dulu.
Sebuah masa dimana ia mengenal ide-ide Marxisme dan semangat Revolusi Bolsheviks di kampusnya melalui kawan-kawan para anggota partai Sosialis demokrat Belanda. Buku itu dia dapatkan dari seorang Komandan CPM (Corps Polisi Militer), anak buah dari Jenderal Gatot Soebroto yang menangkapnya saat ia menghadiri kongres SBKA (Serikat Boeroeh kereta Api) di Yogyakarta nyaris seminggu yang lalu.
Kaum komunis konon katanya mengadakan usaha kudeta di bawah pimpinan MUSO di Madiun, dan dia sebagai "Kamerad" tokoh PKI berhaluan Stalinis - Moskow itu ikut ditangkap dan dituduh sebagai pemberontak. Perdana Menteri Mohammad Hatta menyerukan penumpasan FDR di Madiun dan penangkapan elemen-elemen kaum kiri di seluruh wilayah Republik.
Roda nasib memang tak bersahabat lagi dengannya semenjak ia dianggap gagal meyuarakan kepentingan perjuangan di perundingan Renvile. Kabinet yang dipimpinnya jatuh setelah ditekan habis-habisan oleh Masyumi dan PNI. Ia lalu mengundurkan diri dengan sukarela dan kembali menjadi politikus yang beroposisi terhadap pemerintah melalui PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan ikut membentuk FDR (Front Dwmokrasi Rakyat) bersama Muso yang baru saja kembali dari Rusia.
Seorang berpangkat Letnan satu memerintahkan anak buahnya untuk mengikat laki-laki berbadan kurus ini untuk diikat disebuah pohon. Namun dengan tegas ia menolak tindakan dua orang prajurit CPM tersebut.
"Aku ini pejuang, sama seperti bung semua..., bahkan jauh sebelum kalian berjuang aku sudah lebih dulu melakukannya, maka izinkan aku mati terhormat sebagai seorang pejuang, bukan dengan terikat seperti seorang pesakitan..., Aku Tidak Takut Mati....!!!" katanya dengan tegas.
Sikap yang tegas itu sedikit banyak menciutkan nyali para prajurit CPM tersebut. Wajar.... laki-lai ini bukanlah orang sembarangan, kharismanya sebagai mantan orang nomor satu di jajaran pemerintahan sipil Republik belumlah pudar. Bahkan saat ia diangkut sebagai tawanan dengan kereta tak sedikit rakyat yang mengelu-ekukan dia.
Dia meminta izin untuk melakukan dua hal sebelum dia dieksekusi. Dan sebagai permintaan terakhir tentunya hal ini dikabulkan oleh para parajurit CPM yang akan mengeksekusinya tersebut. Dia meminta agar sebelum ditembak ia dizinkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internationale.
Maka kemudian laki-laki yang saat itu berusia 41 tahun ini dengan dada membusung bangga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu dengan lantang, keras dan gegap gempita. Suaranya bergetar menahan haru, perasaan cintanya kepada negerinya ini dan entah perasaan apa lagi membuncah dan tergambar dari vibrasi suaranya.
Lalu setelah itu lanjut ia menyanyikan lagu "Internationale", lagu mars perjuangan kaum kiri revolusioner dunia yang diterjemaahkan ke bahasa Indonesia oleh Ki Hajar Dewantoro:
Bangunlah kaum yang lapar...
Bangunlah kaum yang hina...
Kehendak mulia dalam dunia...
Senantiasa bertambah besar...
Singkirkan fahan dan adat lama...
Kita masa rakyat yang sadar....
Dunia sudah berganti rupa....
Untuk kemenangan kita....
Perjuangan penghabisan....
Bangkit dan melawan....
Dan Internationale....
Pasti di dunia....
"Dorrrr....!!!" Sebuah letusan terdengar...
Sebuah timah panas dari pistol colt milik Letnan satu CPM yang mengawalnya menembus kepala orang yang dikenal tidak mengenal rasa takut di kalangan perwira Kempetai di masa penjajahan Jepang ini. Tubuh lemahnya terjerembab seketika, darah segar mengalir deras dari sebuah lubang kecil di tengah-tengah jidatnya yang lebar, sebuah jidat yang merupakan seorang pemikir.
MR. Amir Syarifudin Tewas Di Tangan Bangsanya Sendiri....
Dan revolusi lagi-lagi memakan anaknya sendiri.
Sejak muda dia sudah aktif berjuang memerdekakan bangsanya. Aktif diberbagai organisasi pergerakan dan kepemudaan baik semasa di Medan (Kampung halamannya), di Leiden saat kuliah maupun di Jakarta saat lulus dan mendapatkan gelar "Master on de Rechten" atas Sarjana Hukum.
Di masa pendudukan Jepang intelektual berhaluaan marxis kiri dengar berita perang dunia II melalui radio yang disegel tentara Dai Nippon. Saat para pemimpin Indonesia seperti Bung Karno dan Bung Hatta dari kalangan Nasionalis, maupun pemimpin dari kalangan Agamis seperti KH. Mas Masyur dan KH. Wahid Hasyim memilih taktik koorperatif, dia tetap memilih jalur radikal tak mau sedikitpun bekerja sama dengan kaum kapitalis demi melawan kaum Fasis Jerman, Italia dan Jepang.
Dia tertangkap di Surabaya dan babak belur di siksa secara fisik maupun mental oleh Kempetai yang terkenal kejam. Namun tak sedikitpun dia merasa takut.
Bahkan sangatlah populer sebuah cerita keberaniannya di kalangan PESINDO (organisasi Pemuda Sosialis) tentang betapa ia malah tertawa tebahak-bahak menertawakan tentara Jepang yang menyiksanya dengan cara menggantungnya dengan posisi kepala dibawah dan kaki diatas. Tubuhnya berdarah-darah dan biru-biru dipukuli dan terkena Cambukan rotan mereka namun dia tetap tertawa.
Rasa Cintanya Kepada Negerinya Indonesia Mengalahkan Rasa Sakit Akibat Siksaan Fisik Dan Mental yang Dialaminya...
Sebuah hal yang nyaris tak masuk diakal karena entah darimana dia mendapatkan rasa cinta yang sebgitu besarnya kepada negerinya. Padahal dia adalah seorang katolik yang memilih Komunis sebagai pandangan hidupnya.
DIA SAMA SEKALI TIDAK MENGENAL HADITS "Hubbul Wathon Minal Iman...."
Namun rasanya cintanya kepad bangsa dan negerinya lebih besar dari gunung Semeru dan lebih luas dari segoro kidul. Dia tetap seorang komunis sampai akhir hayatnya dan sebagi seorang marxis konon katanya dia juga tidak mengenal Tuhan...
Sebuah hal yang ironi jika kita bandingkan di masa ini ada sekelompok orang yang mengaku oaling beragama, bahkan mengaku sebagai pejuang syariah namun tampaknya tak sedikitpun ada rasa cinta kepada negeri ini di hati mereka.
Nasionalisme itu Kufur Katanya....
Nasionalisme itu mengkebiri ukhuwah Islamiyah katanya....
Nasionalisme itu Faham Jahiliyah katanya...
Dan Hadits "HUBBUL WATHON MINAL IMAN" itu Dhoif katanya....
Mereka menutup mata bahwa negeri ini yang mereka hirup udaranya, minum airnya, hidup diatas tanahnya dan mungkin kelak akan dikuburkan didalamnya...
Mereka menutup mata bahwa mulai dari Akte kelahiran, surat nikah, ijasah pendidikan mulai dari SD, SMP, SMU hingga kuliah, bahkan uang yang berada dalam dompetny masing-masing itu dikeluarkan oleh pemerintahan yang di cap sebagai Kafir....
Mereka tak pernah berjuang seperti Amir Syarifudin si pemberontak komunis ini. Tak pernah kucing-kucingan dengan kempetai dalam berjuang memerdekakan negerinya. Tak pernah pula disiksa hingga berdarah-darah dan babak belur dipukuli demi memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Amir Syarifudin yang konon katanya tak ber-Tuhan itu mencintai negerinya hingga akhir hayatnya... lagu Indonesia Raya yang di nyanyikannya menjelang timah panas menjemput ajalnya itu menjadi bukti...
Padahal Amir Syarifudin tak pernah sedetikpun menikmati kemerdekaan yang diperjuangkannya... hanya sebutir timah panas tunai yang ia dapatkan sebagai upah perjuangannya.
Sementara mereka yang mengaku Bertuhan itu, mengaku Beragama itu tak sedikitpun punya rasa cinta kepada negerinya.
Padahal mereka dengan enaknya menikmati alam kemerdekaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini.
Itulah MR.Amir Syarifudin yang pejuang sekaligus pemberontak (katanya).
Coba bandingkan dengan mereka...
Mereka anda akan temukan perbedaan layakny sebuah Intan berlian yang cahayany menyilaukan dengan sebongkah batu kerikil jalanan yang terbungkus oleh kotoran yang menjijikan... Wallahu A'lam.
Ditulis oleh: Bang Johan Yusuf
Jam menunjukan tepat pukul 12 malam saat itu, di sebuah kompleks pemakaman di desa Ngalih Surakarta. Hari itu tanggal 19 Desember 1948, hari yang sama saat ibu kota negara Yogyakarta jatuh ke tangan tentara kerajaan Belanda yang mengadakan agresi militernya yang ke II. Presiden Soekarno dan wakil presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta di tangkap dan ditawan oleh Belanda.
Panglima besar Jenderal Soedirman menyingkir keluar kota memulai gerilyanya di hutan-hutan. Seluruh kekuatan sipil dan militer Republik lumpuh dan negara proklamasi 17 Agustus ini nyaris tamat riwayatnya.
Lelaki berkaca mata tebal dan berambut ikal ini melangkah dengan mantap menuju tempat eksekusinya. Dua tangannya dia memegang sebuah buku usang berjudul "Romeo and Juliet", sebuah novel roman klasik karya penulis legendaris Inggris William shakespeare. Novel yang entah sudah berapa kali ia tamat membacanya semenjak ia masih duduk di bangku kuliah hukum di Universitas Leiden, negeri Belanda di pertengahan dasawarsa 1920-an dulu.
Sebuah masa dimana ia mengenal ide-ide Marxisme dan semangat Revolusi Bolsheviks di kampusnya melalui kawan-kawan para anggota partai Sosialis demokrat Belanda. Buku itu dia dapatkan dari seorang Komandan CPM (Corps Polisi Militer), anak buah dari Jenderal Gatot Soebroto yang menangkapnya saat ia menghadiri kongres SBKA (Serikat Boeroeh kereta Api) di Yogyakarta nyaris seminggu yang lalu.
Kaum komunis konon katanya mengadakan usaha kudeta di bawah pimpinan MUSO di Madiun, dan dia sebagai "Kamerad" tokoh PKI berhaluan Stalinis - Moskow itu ikut ditangkap dan dituduh sebagai pemberontak. Perdana Menteri Mohammad Hatta menyerukan penumpasan FDR di Madiun dan penangkapan elemen-elemen kaum kiri di seluruh wilayah Republik.
Roda nasib memang tak bersahabat lagi dengannya semenjak ia dianggap gagal meyuarakan kepentingan perjuangan di perundingan Renvile. Kabinet yang dipimpinnya jatuh setelah ditekan habis-habisan oleh Masyumi dan PNI. Ia lalu mengundurkan diri dengan sukarela dan kembali menjadi politikus yang beroposisi terhadap pemerintah melalui PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan ikut membentuk FDR (Front Dwmokrasi Rakyat) bersama Muso yang baru saja kembali dari Rusia.
Seorang berpangkat Letnan satu memerintahkan anak buahnya untuk mengikat laki-laki berbadan kurus ini untuk diikat disebuah pohon. Namun dengan tegas ia menolak tindakan dua orang prajurit CPM tersebut.
"Aku ini pejuang, sama seperti bung semua..., bahkan jauh sebelum kalian berjuang aku sudah lebih dulu melakukannya, maka izinkan aku mati terhormat sebagai seorang pejuang, bukan dengan terikat seperti seorang pesakitan..., Aku Tidak Takut Mati....!!!" katanya dengan tegas.
Sikap yang tegas itu sedikit banyak menciutkan nyali para prajurit CPM tersebut. Wajar.... laki-lai ini bukanlah orang sembarangan, kharismanya sebagai mantan orang nomor satu di jajaran pemerintahan sipil Republik belumlah pudar. Bahkan saat ia diangkut sebagai tawanan dengan kereta tak sedikit rakyat yang mengelu-ekukan dia.
Dia meminta izin untuk melakukan dua hal sebelum dia dieksekusi. Dan sebagai permintaan terakhir tentunya hal ini dikabulkan oleh para parajurit CPM yang akan mengeksekusinya tersebut. Dia meminta agar sebelum ditembak ia dizinkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internationale.
Maka kemudian laki-laki yang saat itu berusia 41 tahun ini dengan dada membusung bangga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu dengan lantang, keras dan gegap gempita. Suaranya bergetar menahan haru, perasaan cintanya kepada negerinya ini dan entah perasaan apa lagi membuncah dan tergambar dari vibrasi suaranya.
Lalu setelah itu lanjut ia menyanyikan lagu "Internationale", lagu mars perjuangan kaum kiri revolusioner dunia yang diterjemaahkan ke bahasa Indonesia oleh Ki Hajar Dewantoro:
Bangunlah kaum yang lapar...
Bangunlah kaum yang hina...
Kehendak mulia dalam dunia...
Senantiasa bertambah besar...
Singkirkan fahan dan adat lama...
Kita masa rakyat yang sadar....
Dunia sudah berganti rupa....
Untuk kemenangan kita....
Perjuangan penghabisan....
Bangkit dan melawan....
Dan Internationale....
Pasti di dunia....
"Dorrrr....!!!" Sebuah letusan terdengar...
Sebuah timah panas dari pistol colt milik Letnan satu CPM yang mengawalnya menembus kepala orang yang dikenal tidak mengenal rasa takut di kalangan perwira Kempetai di masa penjajahan Jepang ini. Tubuh lemahnya terjerembab seketika, darah segar mengalir deras dari sebuah lubang kecil di tengah-tengah jidatnya yang lebar, sebuah jidat yang merupakan seorang pemikir.
MR. Amir Syarifudin Tewas Di Tangan Bangsanya Sendiri....
Dan revolusi lagi-lagi memakan anaknya sendiri.
Sejak muda dia sudah aktif berjuang memerdekakan bangsanya. Aktif diberbagai organisasi pergerakan dan kepemudaan baik semasa di Medan (Kampung halamannya), di Leiden saat kuliah maupun di Jakarta saat lulus dan mendapatkan gelar "Master on de Rechten" atas Sarjana Hukum.
Di masa pendudukan Jepang intelektual berhaluaan marxis kiri dengar berita perang dunia II melalui radio yang disegel tentara Dai Nippon. Saat para pemimpin Indonesia seperti Bung Karno dan Bung Hatta dari kalangan Nasionalis, maupun pemimpin dari kalangan Agamis seperti KH. Mas Masyur dan KH. Wahid Hasyim memilih taktik koorperatif, dia tetap memilih jalur radikal tak mau sedikitpun bekerja sama dengan kaum kapitalis demi melawan kaum Fasis Jerman, Italia dan Jepang.
Dia tertangkap di Surabaya dan babak belur di siksa secara fisik maupun mental oleh Kempetai yang terkenal kejam. Namun tak sedikitpun dia merasa takut.
Bahkan sangatlah populer sebuah cerita keberaniannya di kalangan PESINDO (organisasi Pemuda Sosialis) tentang betapa ia malah tertawa tebahak-bahak menertawakan tentara Jepang yang menyiksanya dengan cara menggantungnya dengan posisi kepala dibawah dan kaki diatas. Tubuhnya berdarah-darah dan biru-biru dipukuli dan terkena Cambukan rotan mereka namun dia tetap tertawa.
Rasa Cintanya Kepada Negerinya Indonesia Mengalahkan Rasa Sakit Akibat Siksaan Fisik Dan Mental yang Dialaminya...
Sebuah hal yang nyaris tak masuk diakal karena entah darimana dia mendapatkan rasa cinta yang sebgitu besarnya kepada negerinya. Padahal dia adalah seorang katolik yang memilih Komunis sebagai pandangan hidupnya.
DIA SAMA SEKALI TIDAK MENGENAL HADITS "Hubbul Wathon Minal Iman...."
Namun rasanya cintanya kepad bangsa dan negerinya lebih besar dari gunung Semeru dan lebih luas dari segoro kidul. Dia tetap seorang komunis sampai akhir hayatnya dan sebagi seorang marxis konon katanya dia juga tidak mengenal Tuhan...
Sebuah hal yang ironi jika kita bandingkan di masa ini ada sekelompok orang yang mengaku oaling beragama, bahkan mengaku sebagai pejuang syariah namun tampaknya tak sedikitpun ada rasa cinta kepada negeri ini di hati mereka.
Nasionalisme itu Kufur Katanya....
Nasionalisme itu mengkebiri ukhuwah Islamiyah katanya....
Nasionalisme itu Faham Jahiliyah katanya...
Dan Hadits "HUBBUL WATHON MINAL IMAN" itu Dhoif katanya....
Mereka menutup mata bahwa negeri ini yang mereka hirup udaranya, minum airnya, hidup diatas tanahnya dan mungkin kelak akan dikuburkan didalamnya...
Mereka menutup mata bahwa mulai dari Akte kelahiran, surat nikah, ijasah pendidikan mulai dari SD, SMP, SMU hingga kuliah, bahkan uang yang berada dalam dompetny masing-masing itu dikeluarkan oleh pemerintahan yang di cap sebagai Kafir....
Mereka tak pernah berjuang seperti Amir Syarifudin si pemberontak komunis ini. Tak pernah kucing-kucingan dengan kempetai dalam berjuang memerdekakan negerinya. Tak pernah pula disiksa hingga berdarah-darah dan babak belur dipukuli demi memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Amir Syarifudin yang konon katanya tak ber-Tuhan itu mencintai negerinya hingga akhir hayatnya... lagu Indonesia Raya yang di nyanyikannya menjelang timah panas menjemput ajalnya itu menjadi bukti...
Padahal Amir Syarifudin tak pernah sedetikpun menikmati kemerdekaan yang diperjuangkannya... hanya sebutir timah panas tunai yang ia dapatkan sebagai upah perjuangannya.
Sementara mereka yang mengaku Bertuhan itu, mengaku Beragama itu tak sedikitpun punya rasa cinta kepada negerinya.
Padahal mereka dengan enaknya menikmati alam kemerdekaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini.
Itulah MR.Amir Syarifudin yang pejuang sekaligus pemberontak (katanya).
Coba bandingkan dengan mereka...
Mereka anda akan temukan perbedaan layakny sebuah Intan berlian yang cahayany menyilaukan dengan sebongkah batu kerikil jalanan yang terbungkus oleh kotoran yang menjijikan... Wallahu A'lam.
Ditulis oleh: Bang Johan Yusuf
0 komentar:
Post a Comment