Perang Mu'tah (bukan nikah Mut'ah), 5 Jumadil Awal 8 Hijriah, mempertemukan pasukan kaum muslimin dengan kekaisaran Romawi Timur.
Di sebelah timur Sungai Yordan dan al-Karak, dua pasukan yang jumlahnya njomplang ini bertemu. Kaum muslimin tak sampai 3000 pasukan. Di kubu sebelah, tak kurang 100.000 serdadu koalisi Byzantium dengan milisi lokal.
Sebelum berangkat, Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintah-kan agar apabila satu panglima gugur, maka hendaknya komando beralih ke panglima lain.
Trio panglima memimpin:
Ja'far putra Abi Thalib, sepupu Rasulullah yang secara fisik paling mirip beliau; Zaid putra Haritsah, dan salah satu pemuka Anshar, Abdullah bin Rawahah radliyallahu 'anhum. Zaid bin Haritsah radliyallahu anhu membawa pasukan menerjang garda depan pasukan Romawi.
Beliau gugur. Sebelum bendera jatuh ke tanah, Ja'far bin Abi Thalib menggantikannya sebagai panglima. Di bawah komandonya, pasukan secara bergelombang menyerbu musuh.
Ja'far, saudara Ali, memegang bendera di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Ketika tangan kanannya ditebas musuh, beliau memindahkan pataka itu ke tangan kiri. Ketika lengannya putus akibat sabetan pedang musuh, beliau masih tetap berusaha menegakkan agar panji tersebut tidak jatuh ke tanah, apalagi direbut oleh musuh.
Dengan kedua tangan yang buntung, beliau berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya.
Sampai akhinya, seorang algojo lawan berhasil membunuh Ja'far.
Diplomat kaum muslimin saat Hijrah ke Habasyah, yang juga berjuluk Abul Masakin, bapak kaum miskin, itu gugur. Ketika Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendengar khabar kesyahidan sepupunya, beliau mengkabarkan bahwa Allah telah mengganti kedua tangan Ja'far ini dengan sepasang sayap. Ja'far At-Thayyar, Ja'far yang bisa terbang, demikian Rasulullah menjuluki sepupu-nya tersebut.
Ketika panglima kedua gugur, giliran Abdullah bin Rawahah menggantikan Ja'far. Sahabat dari kaum Anshar ini memimpin dengan gemilang sampai akhirnya beliau gugur. Tiga panglima perang, sahabat terbaik, gugur dalam satu pertempuran.
Melihat tiadanya komando terpusat, Tsabit bin Arqam Radliyallahu anhu lekas memungut bendera dari tangan Ibnu Rawahah. Beliau menegakkanya kembali, berteriak lantang memanggil satu persatu pasukan yang mulai kocar kacir, mempersatukannya di bawah kibaran panji tersebut. Akhirnya, pasukan sepakat mengangkat Khalid bin Walid radliyallahu anhu, Sang Pedang Allah, jenderal kavaleri dengan pengalaman tempur brilian, sebagai panglima.
Di bawah kepemimpinan Saifullah itu, ditunjang dengan pengalaman tempurnya yang matang, strateginya yang jitu, dan soliditas pasukan, kaum muslimin berhasil memukul mundur puluhan ribu serdadu koalisi Romawi dan milisi lokal.
Dari satu titik ini saja sudah terlihat kok, pentingnya mempertahankan sebuah bendera, selembar pataka, sekibaran panji. Ini bukan hanya mengangkat tangan hormat bendera, melainkan sekaligus mempertahankan tegaknya sebuah bendera, lambang persatuan, dalam sebuah peperangan.
Bendera itu hanya selembar kain, tapi apa yang terbaca di balik kain ini yang penting:
panji martabat, pataka persatuan, bukti pengorbanan, lambang perjuangan dan selebihnya identitas kedirian kita.
Jadi kalau masih ada yang rewel soal hormat bendera dengan alasan "itu hanya kain biasa", "jangan menyembah kain", coba pinjamlah foto dirinya atau foto bapak ibunya, lalu injak-injak, kalau perlu, bakar.
Belum cukup, KENCINGI (lek kowe ora isin ngetokne anumu)! Kalau marah, jawab: "Ah, akhi, bukankah ini HANYA selembar foto?" Birhumati alfatihah untuk para syuhada
Penulis: Gus Rijal Munazziq Z .
Di sebelah timur Sungai Yordan dan al-Karak, dua pasukan yang jumlahnya njomplang ini bertemu. Kaum muslimin tak sampai 3000 pasukan. Di kubu sebelah, tak kurang 100.000 serdadu koalisi Byzantium dengan milisi lokal.
Sebelum berangkat, Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintah-kan agar apabila satu panglima gugur, maka hendaknya komando beralih ke panglima lain.
Trio panglima memimpin:
Ja'far putra Abi Thalib, sepupu Rasulullah yang secara fisik paling mirip beliau; Zaid putra Haritsah, dan salah satu pemuka Anshar, Abdullah bin Rawahah radliyallahu 'anhum. Zaid bin Haritsah radliyallahu anhu membawa pasukan menerjang garda depan pasukan Romawi.
Beliau gugur. Sebelum bendera jatuh ke tanah, Ja'far bin Abi Thalib menggantikannya sebagai panglima. Di bawah komandonya, pasukan secara bergelombang menyerbu musuh.
Ja'far, saudara Ali, memegang bendera di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Ketika tangan kanannya ditebas musuh, beliau memindahkan pataka itu ke tangan kiri. Ketika lengannya putus akibat sabetan pedang musuh, beliau masih tetap berusaha menegakkan agar panji tersebut tidak jatuh ke tanah, apalagi direbut oleh musuh.
Dengan kedua tangan yang buntung, beliau berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya.
Sampai akhinya, seorang algojo lawan berhasil membunuh Ja'far.
Diplomat kaum muslimin saat Hijrah ke Habasyah, yang juga berjuluk Abul Masakin, bapak kaum miskin, itu gugur. Ketika Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendengar khabar kesyahidan sepupunya, beliau mengkabarkan bahwa Allah telah mengganti kedua tangan Ja'far ini dengan sepasang sayap. Ja'far At-Thayyar, Ja'far yang bisa terbang, demikian Rasulullah menjuluki sepupu-nya tersebut.
Ketika panglima kedua gugur, giliran Abdullah bin Rawahah menggantikan Ja'far. Sahabat dari kaum Anshar ini memimpin dengan gemilang sampai akhirnya beliau gugur. Tiga panglima perang, sahabat terbaik, gugur dalam satu pertempuran.
Melihat tiadanya komando terpusat, Tsabit bin Arqam Radliyallahu anhu lekas memungut bendera dari tangan Ibnu Rawahah. Beliau menegakkanya kembali, berteriak lantang memanggil satu persatu pasukan yang mulai kocar kacir, mempersatukannya di bawah kibaran panji tersebut. Akhirnya, pasukan sepakat mengangkat Khalid bin Walid radliyallahu anhu, Sang Pedang Allah, jenderal kavaleri dengan pengalaman tempur brilian, sebagai panglima.
Di bawah kepemimpinan Saifullah itu, ditunjang dengan pengalaman tempurnya yang matang, strateginya yang jitu, dan soliditas pasukan, kaum muslimin berhasil memukul mundur puluhan ribu serdadu koalisi Romawi dan milisi lokal.
Dari satu titik ini saja sudah terlihat kok, pentingnya mempertahankan sebuah bendera, selembar pataka, sekibaran panji. Ini bukan hanya mengangkat tangan hormat bendera, melainkan sekaligus mempertahankan tegaknya sebuah bendera, lambang persatuan, dalam sebuah peperangan.
Bendera itu hanya selembar kain, tapi apa yang terbaca di balik kain ini yang penting:
panji martabat, pataka persatuan, bukti pengorbanan, lambang perjuangan dan selebihnya identitas kedirian kita.
Jadi kalau masih ada yang rewel soal hormat bendera dengan alasan "itu hanya kain biasa", "jangan menyembah kain", coba pinjamlah foto dirinya atau foto bapak ibunya, lalu injak-injak, kalau perlu, bakar.
Belum cukup, KENCINGI (lek kowe ora isin ngetokne anumu)! Kalau marah, jawab: "Ah, akhi, bukankah ini HANYA selembar foto?" Birhumati alfatihah untuk para syuhada
Penulis: Gus Rijal Munazziq Z .
0 komentar:
Post a Comment