Pilpres lalu memunculkan sebuah fenomena munculnya media-media online yang memanfaatkan internet untuk melakukan penyebarannya.
Jaringan Internet memudah-kan penyebaran berita dalam sekejap. Tak dapat dipungkiri bahwa ini sebagai salah satu ekses dari kemajuan teknologi. Akan tetapi yang patut diwaspadai adalah kemunculan media-media online yang memuat hasutan untuk membenci kelompok-kelompok tertentu.
Mereka menanamkan indoktrinasi kepada pembacanya.
Mengapa kita harus mewaspadai, mari kita belajar dari Rwanda. Di medio '90-an, di Rwanda terjadi konflik antar etnis Hutu dan Tutsi yang memakan kurang lebih 1.000.000 jiwa mati sia-sia.
Konflik itu berawal dari kebencian suku Hutu kepada Tutsi yang selama penjajahan Belgia atas Rwanda menempatkan suku Hutu yang mayoritas justru sebagai Minoritas.
Kebencian ini terus ditanamkan melalui media-media yang dikuasai oleh suku Hutu, seperti Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Setiap saat radio tersebut mensiarkan propaganda kebencian terhadap suku Tutsi yang disebutnya sebagai KECOA.
Bahkan, surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.
Pelatuk konflik meletus manakala Presiden Rwanda terpilih dari suku Hutu tewas dalam pesawat yang meledak. Seketika itu dipropaganda-kan bahwa itu adalah ulah suku Tutsi. Maka orang-orang suku Hutu keluar ke jalan-jalan sambil membawa parang memburu semua suku Tutsi. Mereka saling bunuh.
Mengerikan....
Akankah di Indonesia akan terjadi hal seperti ini jika melihat dengan mudahnya media-media online tanpa staff redaksi dan juga kantor berita memuat berita-berita yang berisi kebencian?
Bahkan mereka tak segan-segan memutar balik dan menghilang-kan fakta serta menyebarkan berita bohong dan HOAX hanya untuk kepentingan mereka.
Sangat disayangkan ketika yang menyebarkan itu adalah media-media yang mengaku sebagai media bernapas-kan agama.
Lebih mengerikan lagi ketika para pembacanya menganggap apa yg disampaikan media-media sampah itu sebagai KEBENARAN dan sebagai bentuk perlawanan terhadap media mainstream.
Bahkan berita Bohong pun menjadi sesuatu yang halal untuk mereka telan. Ini persis seperti bagaimana kejadian konflik rwanda dibangun oleh media.
Kebohongan yang terus-menerus didengungkan akhirnya akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Cara-cara mereka justru menggunakan cara-cara propaganda NAZI.
Pemerintah seharusnya mulai menegak-kan hukum atas penyebaran kebencian dan provokasi untuk membenci agama, etnis, maupun kelompok masyarakat di Indonesia. Kita tidak mau kejadian di Rwanda akan terjadi di Indonesia.
Mereka tak bisa dibiarkan secara simultan bebas berbicara menyebarkan kebohongan dan kebencian. Media-media banci ini akan terus berlindung di balik asas kebebasan berbicara.
meskipun mereka membenci demokrasi tapi mereka tetap berlindung di balik demokrasi. Negara jangan sampai kalah dengan para provokator.
Penulis: Sunandi
Jaringan Internet memudah-kan penyebaran berita dalam sekejap. Tak dapat dipungkiri bahwa ini sebagai salah satu ekses dari kemajuan teknologi. Akan tetapi yang patut diwaspadai adalah kemunculan media-media online yang memuat hasutan untuk membenci kelompok-kelompok tertentu.
Mereka menanamkan indoktrinasi kepada pembacanya.
Mengapa kita harus mewaspadai, mari kita belajar dari Rwanda. Di medio '90-an, di Rwanda terjadi konflik antar etnis Hutu dan Tutsi yang memakan kurang lebih 1.000.000 jiwa mati sia-sia.
Konflik itu berawal dari kebencian suku Hutu kepada Tutsi yang selama penjajahan Belgia atas Rwanda menempatkan suku Hutu yang mayoritas justru sebagai Minoritas.
Kebencian ini terus ditanamkan melalui media-media yang dikuasai oleh suku Hutu, seperti Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Setiap saat radio tersebut mensiarkan propaganda kebencian terhadap suku Tutsi yang disebutnya sebagai KECOA.
Bahkan, surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.
Pelatuk konflik meletus manakala Presiden Rwanda terpilih dari suku Hutu tewas dalam pesawat yang meledak. Seketika itu dipropaganda-kan bahwa itu adalah ulah suku Tutsi. Maka orang-orang suku Hutu keluar ke jalan-jalan sambil membawa parang memburu semua suku Tutsi. Mereka saling bunuh.
Mengerikan....
Akankah di Indonesia akan terjadi hal seperti ini jika melihat dengan mudahnya media-media online tanpa staff redaksi dan juga kantor berita memuat berita-berita yang berisi kebencian?
Bahkan mereka tak segan-segan memutar balik dan menghilang-kan fakta serta menyebarkan berita bohong dan HOAX hanya untuk kepentingan mereka.
Sangat disayangkan ketika yang menyebarkan itu adalah media-media yang mengaku sebagai media bernapas-kan agama.
Lebih mengerikan lagi ketika para pembacanya menganggap apa yg disampaikan media-media sampah itu sebagai KEBENARAN dan sebagai bentuk perlawanan terhadap media mainstream.
Bahkan berita Bohong pun menjadi sesuatu yang halal untuk mereka telan. Ini persis seperti bagaimana kejadian konflik rwanda dibangun oleh media.
Kebohongan yang terus-menerus didengungkan akhirnya akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Cara-cara mereka justru menggunakan cara-cara propaganda NAZI.
Pemerintah seharusnya mulai menegak-kan hukum atas penyebaran kebencian dan provokasi untuk membenci agama, etnis, maupun kelompok masyarakat di Indonesia. Kita tidak mau kejadian di Rwanda akan terjadi di Indonesia.
Mereka tak bisa dibiarkan secara simultan bebas berbicara menyebarkan kebohongan dan kebencian. Media-media banci ini akan terus berlindung di balik asas kebebasan berbicara.
meskipun mereka membenci demokrasi tapi mereka tetap berlindung di balik demokrasi. Negara jangan sampai kalah dengan para provokator.
Penulis: Sunandi
0 komentar:
Post a Comment