Buya Syafii Maarif - suara-onlin
Home » » Buya Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: November 20, 2016

Di Sumatera Barat saya mengenal kata ini. Buya atau Abuya kurang lebih setingkat dengan sebutan Kyai di Jawa, Atau Tengku di Aceh. Beberapa daerah menyebut Tuan Guru, dan banyak lagi. Tapi sekarang sebutan ustadz dianggap lebih ngetren. Termasuk bagi mualaf yang dianggap mualim seperti Felix Siaw.

Buya bukan hanya sebutan untuk orang yang bisa mengajar agama, sebutan itu cukup diwakili dengan ustadz. Tapi buya juga untuk menunjukkan penghormatan atas kebijaksanaan yang dimiliki seseorang. Keluasan wawasan seseorang, dan yang utama kharismanya. Untuk menyebut pengaruh yang lebih luas biasanya ada tambahan Gadang, Buya Gadang.

Sejak mengenal sebutan Buya pada seorang Syafii Maarif, saya tahu beliau orang Minangkabau. Dan setahu saya, Minangkabau adalah lanskap alam demokratis. Seorang pembantu bisa berkelakar santai dengan majikannya. Seorang murid bisa berteman akrab dengan guru agamanya. Seorang bocah bisa ikut musyawarah dengan para sesepuh (ninik-mamak) karena ia cadiak (cerdas), dan pendapatnya didengar.

Minangkabau merombak dengan radikal feodalisme Jawa saya. Di sanalah saya percaya, alam takambang jadi guru. Semua orang mendapat porsi dan kesempatan yang sama. Jika Jepang menghargai orang yang giat bekerja, Minangkabau menghargai orang cerdik, mereka mendapat tempat istimewa.

Sikap kritis dan egaliter ditanamkan sejak kecil. Orang bisa mengkritik orang lain jika memang salah. Yang dikritikpun tahu diri, meski itu kadang dilakukan secara tidak langsung. Mereka menyebutnya tahan kias. Adab diletakkan secara proporsional. Tidak ada pengkultusan buta. Akan sangat sulit memahami hal ini dalam cara pandang orang Jawa.

Saya pernah berdebat dengan teman saya yang mondok di Jember, Jawa Timur, karena pemaknaan kitab kuning. Persoalannya sepele, karena ia taklid buta pada penafsiran gurunya. Padahal ia juga tahu, pemaknaan itu keliru logikanya. Sedangkan di Sumatera Barat, berdebat penafsiran adalah sesuatu yang lumrah. Termasuk dengan guru. Orang-orang terbiasa diajarkan kritis tanpa harus merendahkan pihak lain. Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat).

Sikap kritis Minangkabau inilah yang sedang dibawakan oleh Buya Syafii Maarif. Apa yang dibelanya bukan demi kepentingan pribadi. Ia ingin meletakkan persoalan sesuai konteks. Dan lebih jauh, sebagai seorang pluralis, ia ingin menunjukkan cara-cara damai dalam berbeda pendapat. Bukan main kafir dan sesat. Bukan menunjukkan superioritas mayoritas kepada minoritas.

Pi-i, begitu sebutan masa kecilnya, melalui proses yang tidak mudah di masa lalu. Membaca biografinya menunjukkan jalan kehidupan yang penuh kelokan. Dan sepanjang hidup itu, Buya mengabdikan dirinya untuk Muhamadiyah. Lelaki sepuh yang kenyang pengalaman itu bahkan tidak segan mengkritik Amien Rais, cucu pendiri Muhamadiyah. Orang yang bersama Cak Nur, adalah teman diskusinya di Amerika dulu. Di medsos, dengan mudah oknum tak bertanggung-jawab merendahkan seorang Buya akibat pembelaannya terhadap Ahok. Sebagian bahkan menyebutnya sesat, liberal, antek aseng. Oknum ini menyebut dirinya mewakili orang Minang.

Mengkritisi pernyataan Buya masih bisa diterima. Argumen dilawan argumen. Tapi penghinaan yang dilakukan terhadap Buya adalah kepicikan. Orang-orang berjiwa kerdil yang bersembunyi dalam akun medsos, yang kepalanya berongga, dengan volume otak sangat kecil, enteng menyebar meme hinaan. Orang-orang dengan tingkat kebodohan yang tak layak disebutkan ini, adalah anomali orang Minang. Mereka bahkan tak mampu membuat argumen. Lalu merendahkan seseorang yang luas keilmuannya.

Minangkabau memang lanskap alam demokratis, tapi bukan berarti orang bebas tak beradab. Seperti kata buya saya dulu, man la adabalah fahuwa dabbun (siapa yang tak beradab dia itu binatang).

Dulu, leluhur Buya memenangkan laga aduan dengan kerbau kecil yang masih menyusu. Sedangkan orang Jawa waktu itu membawa kerbau besar dan kuat. Kerbau kecil yang bernama Minang itu kemudian menjadi simbol. Nama yang akan terus melambangkan kecerdikan pada generasi selanjutnya. Minangkabau. Orang-orang yang mengaku Minang mestinya menerapkan falsafah ini. Boleh kritis tapi juga harus tahu diri.

By: Kajitow Elkayeni

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design