Ketika Bunda Suu Melengos - suara-onlin
Home » , » Ketika Bunda Suu Melengos

Ketika Bunda Suu Melengos

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: November 24, 2016

Hari itu, Jumat pekan lalu, Bunda Suu melengos. Demokratisasi yang ditiupkan para aktivis rupanya tak pernah mampir ke tanah Rakhine, negara bagian di Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Dan sang Bunda, Aung San Suu Kyi, putri pahlawan besar Aung San yang sudah berpuluh tahun menentang kediktatoran junta militer itu berkelakuan layaknya birokrat di negeri otoriter.

Bunda Suu kini menolak mengakui bahwa tentara Myanmar telah menembaki ratusan pengungsi Rohingya.

Semua ini bermula di suatu hari Minggu bulan Oktober lalu, kala 300 gerilyawan Islam radikal menyerbu tiga pos perbatasan di kota kecil Maungdaw, di Rakhine utara, Myanmar. Menghunus kelewang, pisau dan senapan rakitan, hari itu mereka menewaskan sembilan polisi penjaga perbatasan, merebut sejumlah amunisi, sebelum akhirnya menghilang dalam pekat hutan Rakhine.

Gelombang pembalasan datang seperti ombak, bergulung-gulung. Berpegangan pada analisis gambar satelit, Senin kemarin kelompok Human Right Watch mengumumkan temuannya: hampir seribu rumah hancur dan gosong --tanda pembakaran yang sistematis-- di desa-desa Rohingya.


Para tentara yang sedang marah itu memberlakukan /collective punishment/ atau hukuman kolektif di desa-desa yang berbatasan dengan Banglades itu. Warga puluhan desa harus menanggung akibat mengerikan dari serangan gerilyawan di kota perbatasan itu.

Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, sekitar 30 ribu orang mendadak menjadi pengungsi setelah /tatmadaw/ atau tentara Myanmar diterjunkan di sana. Puncaknya terjadi dua minggu lalu, saat dua helikopter militer Myanmar terbang rendah, lalu menembakkan senapan otomatisnya kepada pengungsi yang berlarian mencari selamat.

Namun di mata pemerintah, korban dan pelaku kekerasan bertukar posisi. Militer senantiasa dalam posisi korban kekerasan, dan terpaksa menyerang balik demi membela diri. Surat kabar pro-pemerintah /Global New Light of Myanmar/ punya cerita, "Sekitar 60 orang bersenjata tombak, tongkat dan senjata api telah menyerang tentara, menewaskan seorang." Militer terpaksa membuka tembakan dari helikopter. Serangan gerilyawan di hari Minggu itu membuka kesempatan untuk melegitimasi aneka bentuk persekusi terhadap kelompok minoritas tanpa kewarganegaraan ini: dari pembunuhan lebih dari 100 orang, perkosaan lusinan perempuan dan anak-anak, hingga penahanan 400 orang.

Keadaan bertambah parah ketika warga sipil Myanmar mulai dilibatkan dalam persekusi. Kepada /Time/ seorang anggota militer Myanmar mengaku mereka sengaja memberi angin kepada warga sipil.

Kecuali para aktivis Hak Asasi Manusia yang gerakannya senantiasa diawasi dan dibatasi, tidak ada lagi yang melindungi orang-orang berkulit gelap yang belakangan harus hidup tanpa obat-obatan dan makanan cukup ini. Pemerintah ? Di bawah kepemimpinan pemenang Nobel Perdamaian Suu Kyi, pemerintah hanya mengakui bahwa tentara melakukan tugasnya mencari kelompok teroris radikal yang bertanggungjawab atas serangan di perbatasan itu. Bunda Suu juga tak mengakui adanya perkosaan para perempuan Rohingya. Dan soal rumah-rumah yang hangus itu, menurut Suu Kyi, akibat dibakar sendiri oleh pemiliknya.

Berpuluh tahun, sembilan puluh persen penduduk Myanmar beragama Buddha yang hidup berdampingan dengan tenang dengan minoritas muslim. Namun beberapa tahun terakhir, atas perjuangan sekelompok bhiksu berhaluan ultranasionalis, tiba-tiba kelompok muslim menjadi "musuh bersama." U Wirathu, seorang bhiksu di Meiktila, tanpa ragu menyimpulkan bahwa muslim adalah ancaman nomer satu terhadap keberlangsungan agama Buddha. "Mereka mempunyai banyak istri dan mempunyai banyak anak.

Ketika jumlah mereka semakin banyak, kita terancam," katanya. U Wirathu adalah pendiri gerakan Komisi Perlindungan Ras dan Agama -- dikenal sebagai gerakan Ma Ba Tha. Rasa terancam dari kaum minoritas yang terus didengungkannya beberapa tahun terakhir ini terbukti telah memperluas sentimen antimuslim ke pelbagai sektor kehidupan.

Toleransi semakin tipis. Ironis, pemerintahan Suu Kyi yang menang pemilihan dengan gemilang seperti telah menyerah pada tekanan kaum mayoritas; pada orang-orang yang berpikiran sempit, tapi percaya diri.

Idrus F Shahab
(Koran Tempo, 23-11-2016 )


Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design