Melihat Arah Angin Berhembus - suara-onlin
Home » , » Melihat Arah Angin Berhembus

Melihat Arah Angin Berhembus

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: November 25, 2016

Oleh: Kajitow Elkayeni

Apa yang hilang dari kita hari ini adalah kewarasan. Begitu banyak provokasi berkeliaran. Sedikit lagi, bisa jadi kita masuk kategoyri gila. Konflik ada di mana-mana, menuntut kita untuk berpihak. Sulit sekali untuk bisa netral. Kita tak bisa menghindar. Semua serba menggiring. Kita benar-benar dibuat gila.

Tapi selalu ada contoh baik, di tengah hiruk-pikuk keberingasan ini. Gusmus misalnya, memberikan teladan untuk tidak gampang marah ketika seorang bocah mengumpatinya, ndasmu. Kata 'ndas' ini dalam tradisi Jawa bukan hanya kata kasar biasa (ngoko). Kata ini biasanya digunakan untuk menyebut kepala hewan.

Jadi kita tahu, betapa kurang-ajarnya bocah ini. Tapi dengan santai Gusmus menasehati dirinya, juga umat, agar tidak gampang marah saat direndahkan. Teladan seperti ini penting, saat kita disuguhi pameran adu otot. Saat agama dipolitisasi. Saat kegarangan mengancam keragaman.

Di tengah situasi tegang ini banyak orang mulai mengkhawatirkan Jokowi. Sebagai aktor politik, langkah-langkah Jokowi terkait kisruh penistaan agama sebenarnya sudah tepat. Tapi dinamika politik seringkali sulit diprediksi. Kalau bisa, tentu Soeharto tak perlu jatuh, Gusdur tak dimakzulkan. Khawatir, cemas, kasihan, adalah reaksi wajar di tengah kemelut. Apakah peristiwa ini sudah layak disebut kemelut? Coba kita telisik.

Sebenarnya kalau Jokowi mau meniru SBY, apa susahnya mengorbankan Ahok demi situasi kondusif? Salah atau tidak, Ahok sudah membikin gaduh. Tinggal jentikkan jari saja langsung masuk itu barang. Tapi Jokowi memang bukan SBY. Ia melihat substansi. Ini bukan perkara berpihak ke mana, tapi soal supremasi hukum. Jika Jokowi main intervensi, apa gunanya Peradilan?

Sama seperti kasus BLT, SBY memilih berhutang demi "membungkam" rakyatnya. Tapi Jokowi melihat substansi persoalan. BLT dan subsidi hanya memanjakan, akar masalah tak terselesaikan, persoalan (hutang) bertambah rumit. Maka dengan tepat Petral dibubarkan, kilang baru dibuat, harga disamakan untuk seluruh Indonesia.

Untuk Papua, Pertamina mengaku rugi, tapi keadilan sosial harus dijalankan. Dengan cara tepat, dengan melihat substansi persoalan. Kabarnya, Pertamina menjadi perusahaan minyak dengan peringkat nomor satu dunia dalam hal keuntungan tahun ini. Sewaktu pilpres, Jokowi diserang isu PKI, Cina. Kabar dari Sumbar menyebutkan, isu itu berhasil menghasut banyak orang. Tapi Jokowi masih bisa diselamatkan. Ia keluar sebagai pemenang dengan hasil tipis. Kali ini

Jokowi diserang sebagai pelindung penista agama. Ini bukan isu main-main. Jika dulu Jokowi diserang dari luar, sekarang ini mereka masuk ke dalam. Banyak orang dari kalangan NU (entah asli atau mengaku-ngaku) ikut-ikutan terprovokasi. Jangan tanya lagi yang di luar barisan itu. Ini termasuk dosa tukang kompor dari kalangan pendukung Jokowi juga.

Mestinya Jokowi atau Pemerintah jangan ditempelkan sebagai pendukung Ahok, dengan istilah apapun. Ada yang menyebut Jokowi dengan sebutan Pakdhe agar terlihat dekat, lalu membuat poin of view seolah mewakili Jokowi. Padahal, Jokowi dan Pemerintah harus benar-benar dibuat netral. Lawan Jokowi sengaja membidik demikian, tapi para pendukung Jokowi malah menguatkan tuduhan itu.

Akibatnya orang-orang di bawah semakin yakin dengan isu tersebut. Bahwa Jokowi tidak netral, bahwa pemerintah ikut bermain. Bola panas ini terus menggelinding dan membakar banyak pihak. Termasuk pendukung Jokowi sendiri.



Sekelas Din Syamsudin saja masih bisa mengeluarkan pernyataan panas, jika Ahok sampai lepas, ia akan memimpin perlawanan. Dari sini bisa ditangkap pemahaman, Din tidak yakin Polri netral. Tapi tunggu dulu, mau melawan siapa? Negara? Bukankah proses hukum sedang berlangsung.

Jika Ahok diputuskan bebas oleh pengadilan, apakah Din akan tetap melawan hukum? Bukankah diseberang ada TNI, bahkan Banser NU, mau memulai perang saudara?

Jika itu pernyataan Habib Rizieq, Bahtiar Nasir, Ustadz Tengku, tidak begitu mengagetkan. Tapi jika tokoh sekelas Din saja bisa berkeyakinan demikian, apalagi umat di bawah yang pemahamannya pas-pasan? Inilah pentingnya melihat arah angin berhembus.

Para pendukung Jokowi yang memiliki massa berlimpah mestinya tidak menggiring opini searah mata angin. Bola panas yang dilempar FPI and the gang harus ditendang balik, bukan malah diteruskan. Orang-orang masih banyak yang meyakini FPI mewakili islam. Agenda FPI dianggap agenda islam. Bahkan di daerah Bogor, massa NU dan FPI bercampur, satu kali ikut acara NU, lain waktu pakai bendera FPI.

Saat ini Jokowi memang baik-baik saja. Ada banyak manuver politik yang bisa dilakukan jika keadaan semakin runyam. Tapi ada baiknya tidak mengganggap sepele api kecil. Termasuk soal mobilisasi massa tanggal 2 Desember.

Orang-orang waras harus jadi penyejuk, bukan malah masuk jebakan. Hati-hati terhadap masuknya penumpang gelap. Mari saling menghormati proses hukum. Ini bukan lagi soal Ahok, bukan juga hanya Jokowi, ini tentang Indonesia kita.

Share This Post :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2015 suara-onlin.
Design by Creating Website and CB Design