Beberapa hari yang lalu saya nulis soal Marcelo Lippi dan para kadernya di lapangan hijau.
Hari ini Sportainment Jawa Pos menyuguhkan maestro sepakbola lainnya: Arrigo Sacchi. Dia mujaddid taktik sepakbola dan madzhabnya membawa pengaruh hingga kini. Berbeda dengan Totall Voetbal ala Rinus Michels yang atraktif-indah tapi sulit dilakukan di luar Belanda, taktik Sacchi dan keluwesan formasinya membawa perubahan besar di era persepakbola Eropa.
Jawa pos memetakan sanad keilmuan madzhab Sacchi melalui jejaring yang rapi: para murid Sacchi yang pernah berguru la,gsung kepadanya, maupun para pelatih muda yang dialiri intelejensua Sacchi melalui dua pelanjut idiologis Sacchi: Fabio Capello dan Carlo Ancelotti.
Lebih mudahnya seperti ini, Anceloti menyerap ilmu Sacchi saat dia menjadi pemain AC Milan, kemudian memperdalam ilmunya saat menjadi asisten Sacchi di Piala Dunia. Ancelotti yang kemudian menjadi pelatih Real Madrid akhirnya mengkader Zenedine Zidane sebagai asistennya, 2013-2015.
Kini Zidane mulai menapak karir gemilang. Baik Sacchi, Ancelotti, maupun Zidane sama-sama pernah meraih gelar Liga Champion. Benar-benar silsilah emas sepakbola!
Generasi Emas Ac Milan saat dilatih Sacchi pun kini menjadi pelatih: Ancelotti, van Basten, Rijkaard, Gulit, di Matteo, Donadoni, Tassoti, Costacurta, hingga Conte. Para tabiin ini menerapkan zona marking dan pressure ketat diiringi dengan keluwesan pemain tengah yang biasa keluar dari zona orbitnya.
Para pelatih muda yang berjejalan di liga Eropa saat ini memang tidak belajar langsung kepada allenatore gundul itu, tapi terpengaruh gaya kepelatihan pria asal Fusigano tersebut. Sebab pada saat menjadi pemain, mereka mendapat sentuhan emas Capello maupun Ancelotti.
Di luar itu, ada juga yang menyambung sanad keilmuannya melalui pengagum Sacchi. Misalnya, Jurgen Klopp menyambunh silsilah keilmuan Sacchi melalui Wolfgang Frank, pelatihnya saat di Mainz O5.
Tradisi keilmuan dari sepak Bola Italia membuat negeri itu tak pernah kekurangan pelatih-pelatih hebat. Itu tidak lepas dati keberadaan pusat pendidikan dengan kurikulum sepak bola yang mutakhir milik FIGC (asosiasi sepakboola Italia) yang biasa disebut Coverciano.
Jadi, tak perlu heran, meski miskin pengalaman sebagai pemain sepak bola, lulusan Coverciano tetap yahud. Kalau dulu Arrigo Sacchi, bekas penjual sepatu yang menjadi maestro sepakbola, kini ada pelatih seperti Maurizio Sarri, pelatih Napoli yang awalnya hanya pegawai bank yang nyambi menjadi pemain klub amatir.
Coverciano berdiri sejak 1958. Sentra pendidikan kepelatihan yang terletak di Florence, wilayah Tuscany, Italia, itu memang telah melahirkan begitu banyak pelatih jempolan, para siswa alias calon pelatih tidak hanya duduk manis dan mendengarkan dosen berteori. Mereka dipersilahkan mengemukakan gagasan mengenai taktik sepak bola dan didiskusikan bersama-sama.
Coverciano juga bukan sekedar sekolah biasa. Ada kurikulum yang sistematis dan sebuah museum di tempat itu untuk memunculkan rasa bangga dan nadionalisme bagi siswa. Museum tersebut berisi dokumentasi sejarah sepak bola Italia. Isinya berupa jersey, bola, video, medali dan piala.
Mereka yang bersekolah di Coverciano juga memiliki krwajiban menukis tesis sebagai syarat kelulusan. Itulah yang membuat gagasan-gagasan orisinal para pelatih teruji. Carlo Ancelotti merupakan seorang yang memiliki tulisan trrkenal. Berjudul Il Futuro del Calcio: piu Dinamicita.
Begitu pula Roberto Mancini yanv meneliti gelandang serang dengan judul il Trequartista. Antonio Conte juga menulis gagasannya mengenai sepak bola dinamis yang dua serap dari Sacchi.
Para pelatih top Italia yang bertebaran di penjuru dunia rata-rata merupakan lulusan Coverciano. Hingga saat ini, Italia memiliki sekitar 2.000 pelatih dengan kualifikasi UEFA Pro. Bandingkan dengan Inggris yang baru memiliki 200 pelatih dengan kualifikasi yang sama. Jadi, jangan heran apabila saat ini ada banyak pelatih Italia di Premiership.
Selain Italia, Jerman juga menerapkan standar ilmiah persepakbolaan. Prestasi jawara Piala Dunia 2014 antara lain disebabkan perpaduan talenta pemain, kecerdasan Joachim Loew, para asistennya serta para penyuplai data statistik.
Statistik, ilmu yang membosankan di bangku kuliah ini menjadi dinamis di tangan Loew dan ajudannya. Ketika menghajar tuan rumah Brasil dengan skor 7-0, Loew sebelumnya disodori statistik permainan Brasil dan grafik pemain. Dengan cara itu dia membangun taktik berdasarkan data dan analisis yang kuat.
Tradisi ilmiah ini, saya kira, tidak tumbuh dari budaya instan. Italia mewarisi tradisi renaissance yang kuat sehingga bisa memadukan seni dengan logika, Jerman tumbuh dengan mewarisi tradisi kemapanan rasionalisasi ala Hegel yang diterapkan di lapangan hijau melalui otak Beckenbauer dan Loew, diiringi pola meritokrasi Weber sehingga kaderisasi angkatan berjalan lancar maupun dikokohkan dengan ketangguhan fisik pemain Jerman, yang sebagaimana mesin produksinya: awet dan bandel.
Kembali ke awal. Sacchi, harus diakui salah satu maestro sepakbola dengan para pengikut madzhabnya. Dia disejajarkan Rinus Michels dengan Totall Voetbalnya, Helenio Herrera dengan Cattenaccionya, dan Jogo Bonitonya Mario Zagallo. Kelak, mungkin Tiki-Taka nya Guardiola akan dikenang juga sebagai temuan paling atraktif di atas lapangan hijau.
Tapi, sehebat-hebatnya pelatih di atas, strateginya bakal melempem di lapangan Indonesia. Penyebabnya, di sini, para pesepakbola bisa menjadi pesilat yang menghajar pemain lawan maupun menganiaya wasit. Di sini pula, dukun dan bandar judi lebih dipercaya dibandingkan dengan statistik dan rasionalisasi strategi.
WAllahu A'lam bisshawab
by: Gus Rijal Mumaziq Z
Hari ini Sportainment Jawa Pos menyuguhkan maestro sepakbola lainnya: Arrigo Sacchi. Dia mujaddid taktik sepakbola dan madzhabnya membawa pengaruh hingga kini. Berbeda dengan Totall Voetbal ala Rinus Michels yang atraktif-indah tapi sulit dilakukan di luar Belanda, taktik Sacchi dan keluwesan formasinya membawa perubahan besar di era persepakbola Eropa.
Jawa pos memetakan sanad keilmuan madzhab Sacchi melalui jejaring yang rapi: para murid Sacchi yang pernah berguru la,gsung kepadanya, maupun para pelatih muda yang dialiri intelejensua Sacchi melalui dua pelanjut idiologis Sacchi: Fabio Capello dan Carlo Ancelotti.
Lebih mudahnya seperti ini, Anceloti menyerap ilmu Sacchi saat dia menjadi pemain AC Milan, kemudian memperdalam ilmunya saat menjadi asisten Sacchi di Piala Dunia. Ancelotti yang kemudian menjadi pelatih Real Madrid akhirnya mengkader Zenedine Zidane sebagai asistennya, 2013-2015.
Kini Zidane mulai menapak karir gemilang. Baik Sacchi, Ancelotti, maupun Zidane sama-sama pernah meraih gelar Liga Champion. Benar-benar silsilah emas sepakbola!
Generasi Emas Ac Milan saat dilatih Sacchi pun kini menjadi pelatih: Ancelotti, van Basten, Rijkaard, Gulit, di Matteo, Donadoni, Tassoti, Costacurta, hingga Conte. Para tabiin ini menerapkan zona marking dan pressure ketat diiringi dengan keluwesan pemain tengah yang biasa keluar dari zona orbitnya.
Para pelatih muda yang berjejalan di liga Eropa saat ini memang tidak belajar langsung kepada allenatore gundul itu, tapi terpengaruh gaya kepelatihan pria asal Fusigano tersebut. Sebab pada saat menjadi pemain, mereka mendapat sentuhan emas Capello maupun Ancelotti.
Di luar itu, ada juga yang menyambung sanad keilmuannya melalui pengagum Sacchi. Misalnya, Jurgen Klopp menyambunh silsilah keilmuan Sacchi melalui Wolfgang Frank, pelatihnya saat di Mainz O5.
Tradisi keilmuan dari sepak Bola Italia membuat negeri itu tak pernah kekurangan pelatih-pelatih hebat. Itu tidak lepas dati keberadaan pusat pendidikan dengan kurikulum sepak bola yang mutakhir milik FIGC (asosiasi sepakboola Italia) yang biasa disebut Coverciano.
Jadi, tak perlu heran, meski miskin pengalaman sebagai pemain sepak bola, lulusan Coverciano tetap yahud. Kalau dulu Arrigo Sacchi, bekas penjual sepatu yang menjadi maestro sepakbola, kini ada pelatih seperti Maurizio Sarri, pelatih Napoli yang awalnya hanya pegawai bank yang nyambi menjadi pemain klub amatir.
Coverciano berdiri sejak 1958. Sentra pendidikan kepelatihan yang terletak di Florence, wilayah Tuscany, Italia, itu memang telah melahirkan begitu banyak pelatih jempolan, para siswa alias calon pelatih tidak hanya duduk manis dan mendengarkan dosen berteori. Mereka dipersilahkan mengemukakan gagasan mengenai taktik sepak bola dan didiskusikan bersama-sama.
Coverciano juga bukan sekedar sekolah biasa. Ada kurikulum yang sistematis dan sebuah museum di tempat itu untuk memunculkan rasa bangga dan nadionalisme bagi siswa. Museum tersebut berisi dokumentasi sejarah sepak bola Italia. Isinya berupa jersey, bola, video, medali dan piala.
Mereka yang bersekolah di Coverciano juga memiliki krwajiban menukis tesis sebagai syarat kelulusan. Itulah yang membuat gagasan-gagasan orisinal para pelatih teruji. Carlo Ancelotti merupakan seorang yang memiliki tulisan trrkenal. Berjudul Il Futuro del Calcio: piu Dinamicita.
Begitu pula Roberto Mancini yanv meneliti gelandang serang dengan judul il Trequartista. Antonio Conte juga menulis gagasannya mengenai sepak bola dinamis yang dua serap dari Sacchi.
Para pelatih top Italia yang bertebaran di penjuru dunia rata-rata merupakan lulusan Coverciano. Hingga saat ini, Italia memiliki sekitar 2.000 pelatih dengan kualifikasi UEFA Pro. Bandingkan dengan Inggris yang baru memiliki 200 pelatih dengan kualifikasi yang sama. Jadi, jangan heran apabila saat ini ada banyak pelatih Italia di Premiership.
Selain Italia, Jerman juga menerapkan standar ilmiah persepakbolaan. Prestasi jawara Piala Dunia 2014 antara lain disebabkan perpaduan talenta pemain, kecerdasan Joachim Loew, para asistennya serta para penyuplai data statistik.
Statistik, ilmu yang membosankan di bangku kuliah ini menjadi dinamis di tangan Loew dan ajudannya. Ketika menghajar tuan rumah Brasil dengan skor 7-0, Loew sebelumnya disodori statistik permainan Brasil dan grafik pemain. Dengan cara itu dia membangun taktik berdasarkan data dan analisis yang kuat.
Tradisi ilmiah ini, saya kira, tidak tumbuh dari budaya instan. Italia mewarisi tradisi renaissance yang kuat sehingga bisa memadukan seni dengan logika, Jerman tumbuh dengan mewarisi tradisi kemapanan rasionalisasi ala Hegel yang diterapkan di lapangan hijau melalui otak Beckenbauer dan Loew, diiringi pola meritokrasi Weber sehingga kaderisasi angkatan berjalan lancar maupun dikokohkan dengan ketangguhan fisik pemain Jerman, yang sebagaimana mesin produksinya: awet dan bandel.
Kembali ke awal. Sacchi, harus diakui salah satu maestro sepakbola dengan para pengikut madzhabnya. Dia disejajarkan Rinus Michels dengan Totall Voetbalnya, Helenio Herrera dengan Cattenaccionya, dan Jogo Bonitonya Mario Zagallo. Kelak, mungkin Tiki-Taka nya Guardiola akan dikenang juga sebagai temuan paling atraktif di atas lapangan hijau.
Tapi, sehebat-hebatnya pelatih di atas, strateginya bakal melempem di lapangan Indonesia. Penyebabnya, di sini, para pesepakbola bisa menjadi pesilat yang menghajar pemain lawan maupun menganiaya wasit. Di sini pula, dukun dan bandar judi lebih dipercaya dibandingkan dengan statistik dan rasionalisasi strategi.
WAllahu A'lam bisshawab
by: Gus Rijal Mumaziq Z
0 komentar:
Post a Comment