Melalui penjelasan Iskak Wijaya, akhirnya saya mengerti apa yang (mungkin) diajarkan Nietzsche melalui teriakan kejinya: Gott ist tot. Tuhan telah mati!
Pertama, 'apa'-pun yang menyangkut tentang 'Diri' Tuhan memang harus mati. Sebab apa yang kita pikirkan tentang Tuhan, pasti bukan Tuhan. Untuk membuktikan ada-Nya, maka yang diperlukan adalah menyangkal-Nya dengan cara yang paling tragis.
Kedua, tidak ada seorang manusia pun yang bisanya memikirkan Tuhan menurut diri-Nya. Semua proses aktivitas manusia, termasuk berpikir dan menafsir, adalah sesuai dengan kapasitas manusia itu sendiri, selalu dalam perspektif manusia, dan oleh karenanya sangat manusiawi.
Ketiga, kauna manusia terbatas, sementara Tuhan Maha tak Terbatas, maka tafsir manusia atad tuhan, berarti tafsir yang tak akan pernah tepat menjelaskan ketak-terbatasannya.
Keempat, manusia harus berupaya untuk senantiasa membunuh hasil penafsirannya tentang Diri Tuhan, yang hakikatnya bersifat sementara dan parsial. Tapi mencari-Nya terus menerus, adalah sesuatu yang bersifat konstan dan niscaya.
Kelima, manusia memang tak akan mampu menggambarkan Diri Sejati Tuhan meski ia harus tetap melakukannya. Tuhan yang ada dalam benak, kesadaran, dan pengalaman manusia adalah bukan Dia dalam kesempurnaan-Nya.
Melihat penjabaran seperti ini, ucapan Fariduddin Attar akhirnya mendapat tempat,
Untuk mengerti Tuhan, kau harus langsung tahu dari-Nya..."
Dan ketika menulis dengan cara per-point seperti ini, ada pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, saya jadi teringat dengan khotib Jum'at yang berkata, "Jika kamu telah bersusah payah mengenal Tuhan, tapi tak kunjung mengenal-Nya, bersabarlah! Semoga satu saat Tuhan sudi memperkenalkan diri-Nya padamu..."
By: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Post a Comment