De Chinezenmoord: Kisah Pembantai Etnis Perantauan Cina Di Batavia - suara-onlin
Home » , , » De Chinezenmoord: Kisah Pembantai Etnis Perantauan Cina Di Batavia

De Chinezenmoord: Kisah Pembantai Etnis Perantauan Cina Di Batavia

Posted by Unknown
suara-onlin, Updated at: March 18, 2017

Api dan Darah di Batavia

9 Oktober 1740 sekelompok serdadu dan opsir VOC keluar dari baraknya dengan bersenjata lengkap. Ditemani oleh kurang lebih 100 orang pasukan berkuda Bugis mereka menuju pemukiman perantau China seputaran tembok kota Batavia. Sebuah perintah telah turun kepada mereka, yaitu penggeledahan dan kalau perlu pembersihan terhadap orang-orang Cina perantau di Batavia.

Dengan garang mereka memulai penggeledahan yang dalam waktu sekejap berubah menjadi pembersihan terhadap etnis Cina di kota yang dibangun oleh JP. Zoen Coen itu. Mereka mendobrak semua rumah cina tersebut, menyuruh penghuninya berbaris lalu menembakinya dengan musket satu persatu. Dan jika peluru musket mereka habis maka mereka menggunaka pedang yang tergantung di pinggang untuk memenggal kepala-kepala orang Cina yang mereka temui.

Penduduk komunitas etnis Cina segera berhamburan menyelamatkan diri ke jalan-jalan kota. Namun malang, hal itu justru membuat para serdadu VOC menjadi semakin beringas. Tak peduli jika itu wanita, orang tua, orang yang sedang sakit atau anak-anak sekalipun, semua mereka bantai tanpa ampun.

Tak terkecuali para tahanan yang dipenjara di bawah tanah gedung stadhuist (gedung museum sejarah Jakarta sekarang) juga menjadi sasaran empuk pembantaian. Mereka digiring satu persatu lalu dipenggali kepalanya di halaman belakang gedung tersebut.

Dan khusus bagi para "amoy amoy" (sebutan khas untuk gadis gadis Cina) nasib mereka jauh lebih pedih. Mereka diseret keluar dari rumahnya kemudian diperkosa beramai ramau di jalanan, lalu barulah dibunuh setelah tubuh dan kehormatannya dicabik-cabik oleh para serdadu VOC yang bak sedang kesetanan itu. Dan tindakan ini tidak hanya dilakukan oleh para serdadu VOC saja, namun para pribumi dan bahkan budak juga ikut andil melampiaskan nafsu rendahnya.

Tak cukup sampai disana saja mereka lalu membakar rumah rumah para perantau Cina tersebut. Asap pun membumbung tinggi di kawasan kawasan yang menjadi komunitas perantau Cina seperti di daerah kali besar, Balai kota, dan jalan tiang bendera.


Udara di dalam kota Batavia penuh sesak oleh percampuran bau asap dan anyir darah. Dan saat malam tiba keadaan menjadi jauh lebih buruk lagi. Penerangan kota nyaris tak ada sehingga suasana mencekam terasa di sekitar pemukiman komunitas Cina. Dan kalaupun ada cahaya itu hanyalah dari titik-titik api pembakaran yang melahap rumah-rumah mereka. Namun, pembantaian tak juga berhenti.

Hari itu nyaris seluruh etnis Cina di dalam tembok Batavia tewas dibantai, sedang sisanya melarikan dirinya ke kota-kota di seputaran Pantai Jawa.

Dan pembantaian itu terus berlangsung hingga 4 hari lamanya. Dan dalam waktu 4 hari itu bau anyir darah mayat etnis Cina yang dibantai itu berubah menjadi bau bangkai yang mengaduk mual isi perut. Selokan-selokan merah oleh darah, kanal-kanal Batavia penuh dengan mayat yang mengambang di seluruh permukaannya.

Adalah gubernur Jenderal Andriaan valckenier yang memerintahkan pembantaian tersebut, setelah ia mendengar bahwa orang-orang Cina merencanakan pemberontakan. Dan beredar desas-desus kalau mereka telah menyusup ke dalam tembok kota.



  • Hoakiauw di Batavia


  • Batavia yang didirikan oleh Jan Pieterzoon Coen memang mendatangkan para perantau Cina secara besar besaran untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar, sebagian lagi berdagang untuk menyambung hidupnya. Orang-orang Cina yang terkenal ulet dalam berusaha itu dalam waktu cepat menguasai sektor ekonomi kecil dan menengah di Batavia.

    Keadaan berubah saat dunia mengalami krisis ekonomi di tahun 1720-an. Gula sebagai komoditas andalan VOC mulai tak laku di pasaran dunia setelah mendapatkan saingannya dari gula produksi Inggris di Hindia Barat (*kepulauan Karibia). Dalam waktu singkat pengangguran dari etnis Cina memenuhi kota. Dan keadaan semakin parah dengan semakin membludaknya perantau asal Cina memasuki Batavia dalam jangka 10 tahun berikutnya.

    Akibat langkanya pekerjaan maka kriminalitas yang dilakukan perantau Cinapun meningkat tajam dan dirasa mengganggu kehidupan orang-orang eropa di Batavia. Gubernur jenderal Valckenier kemudian mengangkut sebagian besar perantau Cina itu ke Ceyloon (Srilanka). Namun desas-desus menngabarkan bahwa mereka yang diangkut dengan kapal ke Ceyloon tersebut tak pernah sampai disana. Ditengah perjalanan mereka diceburkan ke laut dan mati ditelan ganasnya Samudera.

    Hal itulah yang membuat timbulnya kemarahan para perantau Cina di Batavia terhadap VOC. Ide untuk memberontak itu sendiri pertamanya dimulai oleh orang-orang Cina yang tinggal di luar tembok kota Batavia, namun dengan cepat rencana pemberontakan itu menyebar pula diantara mereka yang tinggal di dalam tembok kota tersebut.

    Desas-desus rencana pemberontakan etnis Cina yang oleh orang-orang Eropa di Batavia dianggap sebagai golongan yang menjadi penyakit sosial ini menyebabkan timbulnya sentimen anti Cina. Hal ini segera dicium oleh pemerintah VOC yang segera mengambil langkah-langkah pencegahan.

    Dialog dengan komunitas Cina segera diusahakan oleh seorang pejabat VOC bernama Van Imhof yang dibantu oleh seorang kapitan Cina. Namun dialog itu mengalami kebuntuan, karena komunitas perantau Cina sudah benar-benar kehilangan kepercayaannya kepada VOC.

    Dan Akhirnya Gubernur Jenderal Adriaan Valckenie memerintahkan pembantaian itu.

    Valckenier sendiri kemudian dipecat dari jabatan sebagai gubernur jenderal VOC di Hindia Belanda. Ia dianggap bertanggung jawab atas timbulnya gelombang perlawanan orang-orang cina dan pribumi terhadap VOC. VOC khawatir kalau-kalau etnis Cina bersatu dengan Kerajaan Mataram yang juga sedang melakukan perlawanan terhadap mereka.

    Gubernur jenderal VOC di Hindia Belanda itu kemudian ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Ia mati di dalam penjara dua tahun sesudah kejadian berdarah di Batavia 9 Oktober tahun 1740 itu sebelum sempat dieksekusi.

    Sedangkan etnis Cina yang berangsur-angsur berani kembali ke Batavia di isolasi keberadaannya diluar tembok kota. Mereka hanya diizinkan untuk membuat pemukiman disebuah tanah milik seorang bangsawan Bali bernama Arya Glitok yang telah diakuisisi oleh VOC. Dari nama Arya glitok inilah kemudian muncul nama "GLODOK" yang terkenal hingga saat ini sebagai kawasan pecinan terbesar di Jakarta.

    Para perantau Cina memang kembali bisa bermukim di Batavia. Merekapun kembali menguasai sektor ekonomi tak hanya di tingkat bawah dan menengah, namun juga kelak menguasai ekonomi di tingkat atas. Sayangnya sentimen terhadap mereka tetap ada bahkan hingga jauh setelah Belanda hengkang dari negeri ini.


  • Naga di bumi Garuda yang selalu dipandang sebelah mata


  • Trauma pembantaian Oktober 1740 itu diwariskan dari generasi ke generasi oleh para perantau Cina di Indonesia. Sebuah trauma dan rasa takut yang membuat mereka tak pernah lagi coba-coba untuk berontak kepada penguasa, seburuk apapun penguasa itu. Sebuah hal yang membuat mereka cenderung untuk selalu berdamai dan berada dekat dengan siapapun penguasa di bumi nusantara ini, baik itu bangsa asing maupun warga pribumi.

    Di masa Orde Baru sebagian kecil elit keturunan perantau Cian ini merapat bagai benalu pada poros kekuasaan di Republik ini. Kedekatan pada poros kekuasaan itulah yang membuat mereka mendapatkan hak hak istimewa dari penguasa dan pejabat-pejabat Orde Baru dalam menjalankan bisnisnya.

    Akibatnya adalah semakin terpuruknya reputasi etnis Cina di mata golongan pribumi. Kedekatan itu juga menimbulkan kesan para cukong keturunan perantau Cina menguasai dan memonopoli perekonomian negeri ini.

    Walaupun sebagian dari mereka ada yang berjasa membela dan mengharumkan nama Indinesia di pentas-pentas dunia. Walaupun dalam beberapa kasus ada diantara mereka yang terbukti lebih nasionalis daripada orang-orang yang mengaku sebagai pribumi asli Indonesia.

    Walaupun telah banyak usaha pembauran dan rekonsiliasi yang diusahakan oleh beberapa tokoh di republik ini.

    Tetap saja sentimen dan pandangan miring terhadap para keturunan perantau Cina tak pernah benar-benar sirna.Wallahu A'lam Biahshawab.

    Ditulis oleh: Johan Yusuf


    Share This Post :

    0 komentar:

    Post a Comment

     
    Copyright © 2015 suara-onlin.
    Design by Creating Website and CB Design