Dalam satu acara, keluarga besarku berkumpul. Ada pembicaraan disana. Perbincangan mereka kali ini bukan tentang harga sembako yang mahal, bukan tentang baju lebaran bukan tentang biaya sekolah, bukan juga tenyang pilkada Jakarta, tapi tentang ustadz yang ada di televisi.
Mereka kecewa, sebab prilaku ustadz yang disampaikannya. Dengan kegemasan khas ibu-ibu dan bapak-bapak, mereka mwncemooh ustadz yang ketauan selingkuh, ustadz yang nyaris memasuki 'maqam lebay', ustadz yang gaya hidupnya penuh glamor, sampai ustadz yang harga nasihatnya sepuluh kali lipat gajih PNS dalam satu bulan.
Sebagai mahasiswa komunikasi dan dakwah, aku diminta pendapat tentang para ustadz itu.
Tanpa banyak cingcong aku menjawab, "jika mau jujur, sebenarnya dalam televisi tak ada kegiatan dakwah, tak ada kegiatan pendidikan etika atau moral. Semuanya adalah hiburan dalam arti yang sebenarnya. Demi ratting, iklan, dan uang."
Bibiku menyela tak setuju, "Mereka itu berpredikat ustadz berarti saat mereka tampil berbicara agama dalam satu acara, itu adalah kegiatan dakwah."
"Yang kalian lihat di televisi itu bukan ustadz, bukan kyai, bukan santri bukan ulama, mereka adalah para artis yang disetting sutradara untuk berbicara agama.
Jadi kalau kelakuannya ngelantur, prilajunya berbeda dengan apa yang diucapkan, ya jangan diambil pusing. Mereka kan hanya akting!" Kataku menjelaskan.
"Ah kamu mah suudzon." neneku menyela.
Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Post a Comment